JAKARTA - Ketika memasuki semester kedua 2025, dinamika ekonomi global dan domestik membawa tantangan nyata bagi industri asuransi nasional. Meskipun menghadapi tekanan seperti inflasi global, pelemahan daya beli, serta kenaikan rasio klaim di sektor asuransi umum, industri ini tetap menunjukkan semangat adaptif untuk menjaga stabilitas dan kontribusinya terhadap sistem keuangan nasional.
Sebagai bagian penting dari ekosistem keuangan, industri asuransi tidak hanya berperan sebagai penyedia perlindungan, tetapi juga menjadi penggerak stabilitas sistem keuangan. Peran ini ditegaskan oleh Indonesia Financial Group (IFG), holding BUMN yang menaungi perusahaan-perusahaan asuransi, penjaminan, dan investasi. Dalam sebuah diskusi industri yang digelar di Jakarta, IFG menyoroti pentingnya pendekatan strategis dan kolaboratif untuk memperkuat sektor ini di tengah ketidakpastian.
Sekretaris Perusahaan IFG, Denny S. Adji, menyampaikan bahwa asuransi kini berada di garis depan dalam menyediakan perlindungan risiko yang tidak hanya mendukung aktivitas sektor produktif, tetapi juga memperkuat perlindungan sosial masyarakat.
“Industri asuransi kini memikul peran strategis sebagai instrumen keuangan yang memberikan perlindung terhadap risiko. Integrasi kebijakan, pengawasan adaptif, dan literasi publik menjadi pondasi ekosistem terintegrasi,” ujar Denny dalam pemaparannya.
Dalam pandangannya, penguatan industri asuransi harus berjalan beriringan dengan upaya reformasi kebijakan, peningkatan literasi keuangan, dan akselerasi digitalisasi layanan. Hal ini diperlukan agar industri dapat menjawab tantangan zaman dengan respons cepat dan solusi berbasis teknologi.
Denny menilai, peluang pertumbuhan industri asuransi masih terbuka luas, terutama jika para pelaku industri mampu mengarahkan strategi mereka ke dalam kerangka tata kelola yang kuat, inovasi produk, serta sinergi antar-lembaga.
"Di tengah tekanan eksternal dan domestik, industri asuransi perlu menata ulang pendekatan bisnis dengan menempatkan tata kelola, inovasi, dan integrasi sebagai fondasi utama," tambahnya.
Tak hanya sebagai pelindung terhadap risiko, industri asuransi juga memainkan peran sebagai investor institusional utama di pasar keuangan. Denny menjelaskan bahwa asuransi dan dana pensiun berkontribusi signifikan dalam investasi pada Surat Berharga Negara (SBN), dengan kepemilikan mencapai sekitar 19%. Ini mencerminkan kepercayaan dan komitmen terhadap pembangunan nasional jangka panjang.
Lebih lanjut, Denny memaparkan bahwa mayoritas aset investasi industri asuransi dialokasikan ke instrumen obligasi, yakni sekitar 63%. Sementara sisanya tersebar ke berbagai instrumen lain seperti saham, deposito, dan reksa dana. Diversifikasi ini menunjukkan peran aktif industri dalam mendukung likuiditas dan stabilitas pasar modal nasional.
Diskusi ini juga dihadiri oleh para peneliti dari IFG Progress yang turut memberikan perspektif terkait arah kebijakan dan tantangan industri. Peneliti-peneliti tersebut antara lain Ibrahim Kholilul Rohman, Mohammad Alvin Prabowosunu, dan Rosi Melati. Mereka mengulas dinamika makroekonomi, kondisi asuransi jiwa dan umum, serta pentingnya respons kebijakan yang tepat di tengah tantangan global dan nasional.
"Melalui kegiatan ini, kami berharap dapat membangun persepsi yang lebih konstruktif terhadap industri asuransi nasional," jelas Denny.
Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa asuransi bukan hanya sebagai alat proteksi finansial, tetapi bagian integral dari kerangka pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Peran strategis ini mengharuskan industri asuransi untuk terus meningkatkan integritas, kredibilitas, serta koneksi dengan sektor-sektor lain di dalam sistem keuangan.
"Dengan semangat kolaborasi, IFG menilai asuransi bisa jadi penggerak pertumbuhan yang berdaya tahan pada masa mendatang," tegas Denny.
Selain membahas aspek struktural dan makroekonomi, diskusi juga menyoroti peluang baru di pasar, khususnya pada segmen generasi muda. Peneliti IFG Progress, Rosi Melati, mengangkat temuan dari hasil survei yang dilakukan bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI). Survei tersebut menunjukkan bahwa generasi muda di bawah usia 30 tahun memiliki minat yang tinggi terhadap produk asuransi.
“Untuk distribusi dari umur responden, kalau misalnya respondennya itu profilnya di bawah 30 tahun, ternyata mereka ingin lebih cepat membeli produk asuransi,” ungkap Rosi.
Dari hasil survei, sebanyak 53% responden menyatakan ketertarikan mereka untuk membeli produk asuransi di masa mendatang. Fakta ini menunjukkan adanya potensi besar bagi industri untuk memperluas basis konsumennya di kalangan generasi muda melalui pendekatan yang relevan dan edukatif.
Peluang ini harus dijawab oleh pelaku industri dengan menawarkan produk yang fleksibel, transparan, dan sesuai dengan kebutuhan gaya hidup generasi muda. Di samping itu, strategi distribusi digital yang inklusif akan menjadi kunci untuk menjangkau pasar dengan lebih efektif.
Secara keseluruhan, diskusi yang diadakan oleh IFG mencerminkan pentingnya kolaborasi antara pelaku industri, regulator, akademisi, dan masyarakat dalam mendorong transformasi industri asuransi nasional. Melalui tata kelola yang adaptif dan strategi berbasis data, sektor ini diyakini mampu menjadi pilar penting dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.