JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan besar dalam ketergantungan pada bahan bakar fosil impor sekaligus tekanan global untuk menurunkan emisi karbon. Namun, di balik itu semua, ada potensi luar biasa yang selama ini kurang dimanfaatkan, yaitu limbah cair dari industri kelapa sawit atau dikenal sebagai POME (palm oil mill effluent). Limbah ini tidak hanya tersebar luas di hampir 900 pabrik kelapa sawit dari Sumatra hingga Papua, melainkan juga menyimpan energi yang sangat besar.
Selama ini, sebagian besar limbah POME dibiarkan menguap menjadi gas metana. Gas ini merupakan salah satu gas rumah kaca paling berbahaya yang berkontribusi pada perubahan iklim. Padahal, dengan teknologi tepat, gas tersebut dapat diolah menjadi bahan bakar ramah lingkungan bernama Bio-CNG (biomethane compressed natural gas). Ini adalah solusi energi alternatif yang bisa menggantikan solar impor sekaligus mengurangi emisi karbon.
Teknologi dan Proses Produksi Bio-CNG
- Baca Juga Harga BBM Terbaru Berlaku Seluruh SPBU
Teknologi untuk mengubah limbah POME menjadi Bio-CNG cukup sederhana dan sudah bisa diterapkan. Limbah dialirkan ke biodigester, di mana bakteri mengolahnya dalam kondisi tanpa oksigen (fermentasi anaerobik). Proses ini menghasilkan gas metana yang kemudian dimurnikan hingga kadar metananya mencapai lebih dari 95 persen. Setelah itu, gas dikompresi dalam tekanan tinggi, disimpan dalam tabung, dan siap digunakan.
Bio-CNG ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan, seperti bahan bakar kendaraan logistik, bus kota, bahkan pembangkit listrik. Kelebihan lainnya adalah mesin kendaraan hanya memerlukan sedikit modifikasi agar kompatibel dengan bahan bakar ini. Dengan demikian, Bio-CNG menjadi alternatif yang sangat praktis dan efisien.
Potensi Besar dan Manfaat Ekonomi
Dari total limbah POME yang dihasilkan nasional, Indonesia mampu memproduksi lebih dari 1,5 miliar meter kubik biomethane setiap tahun. Jumlah ini setara dengan 1,1 miliar liter solar, cukup untuk memenuhi hampir enam persen konsumsi solar sektor transportasi nasional. Jika limbah tandan kosong juga dimanfaatkan, kapasitas produksi Bio-CNG bisa meningkat hingga 20 persen.
Dari segi ekonomi, proyek produksi Bio-CNG kini semakin menarik. Pembangunan pabrik dengan kapasitas menengah sekitar 300 meter kubik per jam diperkirakan menghabiskan dana antara 6 hingga 7 juta dolar AS. Dengan harga jual Bio-CNG sekitar Rp 300 per megajoule, investasi tersebut bisa kembali dalam waktu lima sampai enam tahun. Selain itu, pendapatan tambahan dari pasar kredit karbon membuka peluang finansial yang menjanjikan.
Beberapa perusahaan besar sudah membuktikan keberhasilan pemanfaatan Bio-CNG. Misalnya, APRIL menggunakan Bio-CNG untuk pembangkit uap, Pertamina Patra Niaga mengoperasikan fasilitas pengisian utama di Kampar, dan konsorsium PGN-KIS Biofuels sedang menyiapkan pengiriman biomethane ke jaringan gas kota Palembang. Model bisnis ini efektif karena tidak memerlukan pembangunan infrastruktur pipa baru; cukup mengantar tabung gas ke titik serah.
Dampak Positif Lingkungan dan Strategis
Pengelolaan limbah sawit untuk menghasilkan Bio-CNG bukan hanya mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, tapi juga memberikan dampak lingkungan besar. Penangkapan gas metana dari limbah sawit berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca nasional hingga 25 juta ton setara karbon dioksida per tahun. Potensi nilai kredit karbonnya bisa mencapai Rp 8 triliun per tahun, yang tentu saja memberikan insentif tambahan bagi pelaku industri.
Selain itu, Bio-CNG berbasis limbah sawit tidak bersaing dengan sektor pangan atau oleokimia, berbeda dengan biodiesel. Harga Bio-CNG pun relatif stabil karena tidak tergantung pada fluktuasi harga minyak dunia ataupun nilai tukar mata uang asing.
Tantangan dan Dukungan yang Diperlukan
Meski sangat menjanjikan, tantangan utama pemanfaatan Bio-CNG masih ada, terutama terkait biaya investasi awal yang tinggi. Hal ini sangat memberatkan petani atau pekebun kecil yang menjadi bagian penting dalam rantai produksi kelapa sawit. Oleh karena itu, dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan, insentif pajak, dan pendanaan hijau dari lembaga keuangan sangat dibutuhkan untuk mendorong investasi di sektor ini.
Standar kualitas biomethane juga harus ditegakkan agar aman dan efektif digunakan dalam kendaraan serta sistem distribusi. Kebijakan pemerintah yang jelas, misalnya dengan Peraturan Presiden tentang pengembangan Bio-CNG nasional, sangat diperlukan agar sektor ini dapat berkembang dengan baik dan terarah.
Target dan Peluang untuk Masa Depan
Pemerintah menargetkan produksi Bio-CNG mencapai 180 juta meter kubik pada tahun 2030, yang cukup untuk menggerakkan 15 ribu bus kota dan 5 ribu truk logistik di berbagai wilayah Indonesia. Insentif seperti pembebasan bea masuk untuk peralatan utama dan penerapan pajak karbon bertahap akan mempercepat adopsi teknologi Bio-CNG.
Di tingkat desa, limbah padat hasil pemurnian gas bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang berguna meningkatkan kesuburan tanah. Jika petani plasma diberikan insentif Rp 200 per kilogram pengolahan POME, mereka tidak hanya mendapat pendapatan tambahan, tetapi juga ikut memperbaiki citra industri sawit yang selama ini kerap mendapat kritik.
Dengan adanya pengembangan Bio-CNG, pekerjaan hijau pun dapat tercipta mulai dari operator biodigester, pengemudi trailer distribusi gas, hingga tenaga pendukung lainnya. Ini menjadi peluang ekonomi baru sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
Bio-CNG sebagai Masa Depan Energi Indonesia
Bayangkan jika armada truk logistik di koridor tol laut digerakkan dengan Bio-CNG, atau bus Trans Musi di Palembang menggunakan bahan bakar dari limbah sawit yang dulu hanya dibuang percuma. Setiap kilometer perjalanan bukan hanya penghematan devisa, tetapi juga bukti kemandirian energi nasional yang diperoleh dari sumber lokal.
Bio-CNG bukan sekadar bahan bakar alternatif, melainkan jembatan menuju kemandirian energi, kesejahteraan desa, dan keberanian Indonesia untuk mengubah limbah menjadi aset berharga. Sudah saatnya semua pihak bergerak bersama, dari pemerintah hingga petani, mewujudkan energi masa depan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.