Nikel Dorong Pertumbuhan Industri Baterai EV Global

Rabu, 27 Agustus 2025 | 08:06:54 WIB
Nikel Dorong Pertumbuhan Industri Baterai EV Global

JAKARTA - Transisi energi dunia yang semakin cepat membawa dampak besar terhadap kebutuhan mineral strategis, khususnya nikel. Komoditas ini kini tidak hanya dipakai sebagai bahan baku baja nirkarat, melainkan juga berperan penting dalam produksi baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Eramet Indonesia memproyeksikan konsumsi nikel untuk baterai EV akan meningkat drastis pada 2035, menjadi tonggak penting dalam perjalanan industri nikel global dan domestik.

CEO Eramet Indonesia, Jerome Baudelet, mengungkapkan bahwa konsumsi nikel untuk baterai kendaraan listrik diperkirakan mencapai 1,7 juta ton pada 2035. Angka ini melonjak 176 persen dibandingkan dengan proyeksi tahun 2025 sebesar 643.000 ton.

“Dan kami memperkirakan konsumsi baterai akan mencapai sekitar 30% dari konsumsi nikel global. Artinya, akan ada peningkatan sekitar 1 juta ton konsumsi nikel tambahan untuk kendaraan listrik,” jelas Baudelet.

Pangsa Konsumsi Nikel untuk EV Meningkat

Baudelet menegaskan, pada tahun ini porsi nikel yang digunakan untuk baterai baru sekitar 18 persen dari total konsumsi nikel global. Namun pada 2035, angka itu diperkirakan naik menjadi 30 persen. Perubahan ini menandakan pergeseran besar peran nikel dari sekadar komoditas industri baja menjadi penentu keberhasilan transisi menuju kendaraan berbasis energi bersih.

Lonjakan kebutuhan nikel sejalan dengan tren global mempercepat penggunaan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi karbon. Baterai berbasis nikel dianggap mampu memberikan daya tahan lebih lama serta efisiensi energi yang lebih baik. Hal ini menjadikan permintaan terhadap nikel sebagai bahan baku utama terus meningkat.

Kemajuan Smelter di Tanah Air

Tidak hanya secara global, industri nikel di Indonesia juga tengah mengalami kemajuan pesat. Baudelet menilai, pemerintah Indonesia berhasil menarik investasi dalam jumlah besar untuk pembangunan smelter. Pabrik-pabrik tersebut sebagian besar berasal dari China.

“Pada awalnya, jika kita melihat kembali lima tahun yang lalu, ekspor dari Indonesia hanya berupa NPI [nickel pig iron untuk bahan baku baja nirkarat]. Tidak ada produk yang dibuat untuk baterai. Hari ini Anda dapat melihat ekspor MHP [mixed hydroxide precipitate]. Dan Anda juga memiliki nickel matte, yang digunakan untuk pembuatan baterai,” ujar Baudelet.

Ia menjelaskan, pada mulanya mayoritas smelter menggunakan teknologi pirometalurgi rotary kiln electric furnace (RKEF). Kini mulai bermunculan smelter berbasis hidrometalurgi high pressure acid leach (HPAL). Teknologi ini memungkinkan pengolahan nikel kadar rendah seperti limonit menjadi produk bernilai tambah tinggi, seperti bahan baku baterai.

Perkembangan ini membuat produk turunan nikel Indonesia semakin beragam, tidak hanya terbatas pada NPI, tetapi juga menghasilkan bahan strategis bagi industri baterai.

Tantangan Regulasi dan Industri

Meskipun prospeknya cerah, Baudelet menyoroti sejumlah tantangan. Pertama, kebijakan kenaikan tarif royalti bijih nikel dan produk turunannya.

“Saya pikir itu baik untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Satu-satunya masalah adalah itu datang pada waktu yang paling buruk. Itu datang saat industri sedang mengalami kesulitan,” kata Baudelet.

Menurutnya, aturan tersebut membuat pengusaha nikel terkejut. Namun, Eramet Indonesia tetap menerima regulasi tersebut dan berkomitmen menjalankannya dengan baik.

Tantangan kedua adalah perubahan aturan pelaporan rencana kerja anggaran biaya (RKAB) yang kembali menjadi setiap satu tahun.

“Ketika Anda memiliki RKAB tiga tahun, Anda dapat merencanakan pengembangan tambang. Ketika hanya satu tahun, Anda selalu khawatir bahwa tahun berikutnya mungkin tidak akan mendapatkan persetujuan yang sama,” ujarnya.

Tantangan lain adalah kelebihan pasokan smelter nikel berbasis RKEF, yang berisiko menekan harga produk olahan. Baudelet memperkirakan kondisi serupa dapat terjadi juga pada smelter berbasis HPAL di masa depan. Situasi oversupply ini membuat margin keuntungan perusahaan smelter semakin tipis.

Namun demikian, ia menilai secara umum perusahaan pertambangan nikel tetap memiliki peluang keuntungan yang cukup baik.

Harga Produk MHP Mengalami Tekanan

Harga mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai EV tercatat melemah sepanjang tahun 2025. Berdasarkan data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), harga MHP pada Januari 2025 masih di level US$18.000 per ton. Akan tetapi, pada awal Agustus turun menjadi sekitar US$14.000 per ton.

Dewan Penasihat Pertambangan APNI, Djoko Widjajanto, menyebutkan penurunan harga ini terjadi karena melandainya permintaan dari smelter HPAL.

“Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan pasar oversupplied dan sentimen investor yang lemah,” ujar Djoko.

Selain permintaan yang menurun, penurunan harga juga dipicu oleh ekspansi kapasitas global MHP, termasuk yang berasal dari Indonesia maupun China. Kondisi ini membuat pelaku usaha bersikap lebih hati-hati dalam menjalankan bisnis, mengingat margin keuntungan semakin menipis.

Pergerakan Harga Nikel Global

Sementara itu, harga nikel di pasar internasional juga menunjukkan dinamika. Pada perdagangan Senin (25/8/2025), harga nikel di London Metal Exchange (LME) tercatat sebesar US$15.024 per ton. Angka tersebut naik 1,15 persen dibandingkan dengan penutupan akhir pekan sebelumnya.

Sebagai catatan, harga nikel pernah menembus rekor lebih dari US$100.000 per ton pada Maret 2022 akibat fenomena short squeeze. Namun sejak saat itu, harga nikel berangsur turun tajam dan stabil di kisaran belasan ribu dolar per ton.

Optimisme Jangka Panjang

Baudelet menekankan, walaupun industri menghadapi sejumlah tantangan, potensi jangka panjang tetap cerah. Permintaan global yang terus tumbuh, khususnya dari sektor kendaraan listrik, menjadi peluang besar bagi Indonesia sebagai produsen nikel utama dunia.

Dengan keberagaman produk olahan nikel, Indonesia tidak lagi sekadar mengekspor NPI, tetapi juga bahan baku penting seperti MHP dan nickel matte. Kondisi ini memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global serta membuka ruang besar bagi pengembangan industri baterai di masa depan.

Ke depan, diharapkan regulasi dan kebijakan dapat mendukung stabilitas industri nikel, sehingga potensi pertumbuhan dapat dimaksimalkan. Baudelet optimistis, kerja sama pemerintah dan industri akan membawa nikel Indonesia berperan strategis dalam mendukung ekosistem kendaraan listrik dunia.

Terkini