JAKARTA - Indonesia tengah dihadapkan pada potensi krisis minyak goreng yang dapat kembali terjadi, di tengah implementasi biodiesel B40 dan meningkatnya konsumsi minyak goreng selama bulan puasa. Biodiesel B40, yang terdiri dari campuran solar dengan 40 persen minyak sawit, berpotensi menyedot lebih banyak kebutuhan minyak sawit untuk sektor energi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang persaingan pasokan minyak sawit untuk pangan dan energi yang dapat berlangsung terus-menerus, terutama jika kebijakan pemerintah tidak ditangani dengan hati-hati.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengingatkan bahwa kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi beberapa tahun lalu bisa terulang kembali. “Nanti kita menghadapi bulan puasa yang konsumsi minyak goreng akan naik, dan posisinya B40 sudah diimplementasikan juga mulai awal tahun ini,” ujarnya.
Pada tahun 2022 sampai 2023, masyarakat sudah pernah menghadapi polemik kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Kini, kondisi serupa bisa saja muncul kembali. Harga Eceran Tetap (HET) Minyak Kita, yang merupakan produk minyak goreng subsidi pemerintah, telah melonjak dari Rp 14 ribu menjadi Rp 18 ribu per liter pada November 2024.
Kompetisi CPO untuk Pangan dan Energi
Achmad menunjukkan bahwa belum ada pengaturan yang jelas antara penggunaan crude palm oil (CPO) untuk pangan dan energi. Kompetisi ini dapat menciptakan ketidakstabilan stok dan harga minyak goreng di pasaran. "Akar permasalahannya adalah penetapan dua harga CPO yang menciptakan kecenderungan penjualan produk untuk kepentingan biodiesel," tambah Achmad.
Untuk mengatasi masalah ini, Achmad menyarankan agar pemerintah mengatur pola konsumsi CPO, mengevaluasi dan mengawasi sistem distribusi minyak goreng, serta menjaga kestabilan HET melalui kebijakan yang menyeluruh dari hulu ke hilir industri sawit.
Proyeksi Penurunan Produksi dan Kenaikan Permintaan
Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi Sekretariat Nasional Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS), memperkirakan produksi minyak sawit nasional akan turun sebesar 5,1 persen pada 2025. "Penerapan B40 akan meningkatkan kuota biodiesel nasional menjadi 15,6 juta kiloliter dari sebelumnya 12,98 juta kiloliter dalam program B35," jelasnya.
Penurunan produksi ini disebabkan oleh tanaman kelapa sawit yang sudah memasuki usia non-produktif yang memerlukan peremajaan. Di sisi lain, permintaan domestik tetap tinggi karena pengembangan biodiesel dan program nasional lainnya. SPKS memproyeksikan Indonesia akan mengalami kekurangan sekitar 1,04 juta metrik ton minyak sawit.
Andry menekankan pentingnya pemerintah untuk mewaspadai kebijakan yang diambil agar tidak menciptakan defisit minyak sawit nasional. "Sehingga ironi kelangkaan minyak goreng pada awal 2022 yang diikuti rendahnya harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani akibat kebijakan pelarangan ekspor CPO tidak berulang kembali pada 2025," ujarnya.
Solusi untuk Menghindari Krisis
Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri, pemerintah merencanakan kebijakan pengetatan ekspor limbah pabrik kelapa sawit, residu minyak sawit asam tinggi, dan minyak jelantah (UCO). Namun, Andry menyatakan bahwa hal ini tidak menyelesaikan akar persoalan defisit minyak sawit domestik. Pengetatan tersebut dapat berdampak buruk bagi petani sawit swadaya, yang selama ini menyumbang pasokan bahan baku pabrik kelapa sawit.
"Dari segi produksi dan kualitas, produksi CPO dari bahan baku yang dipasok petani swadaya potensial dapat memenuhi kebutuhan domestik terutama produksi biodiesel nasional," terang Andry. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus mengatur rantai pasok dari petani swadaya agar mereka mendapatkan keuntungan dalam rantai pasok CPO untuk industri biodiesel.
Dengan model rantai pasok industri biodiesel yang lebih inklusif, potensi sekitar 5,31 juta hektare perkebunan sawit swadaya di Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal. Potensi produksi CPO bisa mencapai 14,87 juta metrik ton atau setara 15,94 juta kiloliter biodiesel, cukup untuk memenuhi kebutuhan B40. Potensi ini paling besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Dalam konteks ini, mengembangkan kemitraan antara perusahaan pemasok biodiesel dengan koperasi petani swadaya menjadi penting. Hal ini tidak hanya untuk memastikan suplai bahan baku, tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi petani sawit swadaya di Indonesia.