JAKARTA - Harga minyak mencatat kenaikan untuk hari ketiga berturut-turut, didorong oleh beberapa sentimen penting yang mengguncang pasar energi global. Dua faktor utama yang mendongkrak harga minyak adalah penurunan stok bensin dan distilat di Amerika Serikat (AS) serta kekhawatiran akan gangguan pasokan dari Rusia.
Harga minyak mentah Brent mengalami kenaikan sebesar 44 sen, atau sekitar 0,58%, menjadi US$ 76,48 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Maret naik sebesar 32 sen atau 0,44% menjadi US$ 72,57 per barel. Kontrak WTI April, yang lebih aktif diperdagangkan, menguat 0,35% menjadi US$ 72,50 per barel.
Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan adanya peningkatan pada stok minyak mentah AS yang lebih besar dari perkiraan. Namun, stok bahan bakar justru mengalami penurunan akibat pemeliharaan musiman di kilang yang menyebabkan produksi menurun. "Kenaikan stok minyak mentah sedikit lebih besar dari yang diperkirakan, tetapi ada penurunan moderat pada bensin dan penurunan yang lebih besar pada distilat, sehingga total persediaan tetap stabil," ujar Giovanni Staunovo, seorang analis di UBS.
Ketegangan geopolitik juga memainkan peran penting dalam fluktuasi harga minyak. Pertemuan antara Rusia dan AS baru-baru ini, yang merupakan yang pertama sejak eskalasi perang di Ukraina, berupaya membahas pemulihan hubungan dan mencari solusi atas konflik yang berlanjut. Meski demikian, masalah pasokan minyak dari Rusia terus menjadi faktor yang mendukung kenaikan harga.
Menteri Energi Ukraina, German Galushchenko, menuduh Rusia melakukan serangan terhadap infrastruktur gas di Ukraina, yang merusak fasilitas produksi gas pada Rabu, 19 Februari 2025 malam. Serangan ini menambah kekhawatiran tentang pasokan energi di kawasan tersebut. Selain itu, Rusia melaporkan bahwa aliran minyak melalui Konsorsium Pipa Kaspia (Caspian Pipeline Consortium) mengalami penurunan 30%-40% pada Selasa, 18 Februari 2025 setelah serangan drone oleh Ukraina terhadap stasiun pompa.
Di sisi lain, potensi dimulainya kembali pasokan minyak dari wilayah Kurdistan, Irak, turut memberikan sedikit penyeimbang bagi risiko pasokan. Turki, yang mengendalikan Pelabuhan Ceyhan sebagai titik ekspor minyak dari Kurdistan, masih menunggu kepastian dari Irak terkait kelanjutan ekspor minyak ini. Analis dari ING menyatakan bahwa, jika pasokan minyak dari Irak kembali normal, hal itu berpotensi menambah 300 ribu barel per hari ke pasar global.
Di tengah dinamika pasar ini, kebijakan tarif yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump juga memiliki potensi untuk mengubah lanskap ekonomi. Trump menerapkan tarif sebesar 25% pada impor mobil ke AS, yang bisa memicu peningkatan biaya barang konsumsi. "Wajar jika ada kekhawatiran terhadap prospek ekonomi global saat Donald Trump mengambil langkah besar dengan menerapkan tarif 25% pada impor mobil ke AS," jelas Bjarne Schieldrop, Kepala Analis Komoditas di SEB.
Langkah ini dapat melemahkan ekonomi global dan secara tidak langsung mengurangi permintaan bahan bakar, sejalan dengan kekhawatiran akan permintaan minyak di Eropa dan China. Meskipun demikian, kekhawatiran baru ini masih berfungsi sebagai pengimbang bagi kenaikan harga, dan pasar energi nampaknya akan tetap bergejolak.
Menghadapi gejolak pasar ini, pelaku industri energi dan para analis terus mencermati perkembangan terkini, baik yang bersifat geopolitik maupun ekonomi. Hal ini menjadi sangat penting dalam mengantisipasi pergerakan harga minyak ke depan, serta memahami dampak jangka panjang dari kebijakan dan situasi global yang dinamis. Sementara itu, masyarakat dan investor harus terus menyatakan waspada dan mengikuti perkembangan situasi untuk menentukan langkah yang tepat dalam menghadapi ketidakpastian pasar energi.