Harga Minyak Terkoreksi Ringan, Peluang Bagi Negara Pengimpor seperti Indonesia

Senin, 14 April 2025 | 12:21:04 WIB
Harga Minyak Terkoreksi Ringan, Peluang Bagi Negara Pengimpor seperti Indonesia

JAKARTA — Harga minyak mentah dunia kembali melemah pada awal pekan ini, Senin, 14 April 2025, di tengah meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap pertumbuhan ekonomi global yang tertekan akibat perang dagang berkepanjangan antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Berdasarkan data yang dikutip dari Reuters, harga minyak mentah Brent turun sebesar 29 sen atau 0,45 persen menjadi USD 64,47 per barel, sementara minyak mentah acuan AS, West Texas Intermediate (WTI), turun 27 sen atau 0,44 persen menjadi USD 61,23 per barel.

Kedua acuan harga minyak tersebut tercatat telah merosot lebih dari USD 10 per barel sejak awal April 2025. Penyebab utamanya adalah meningkatnya eskalasi konflik perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia yang memicu kekhawatiran akan menurunnya permintaan global terhadap energi.

Perang Dagang AS-China Masih Jadi Sentimen Negatif

Ketegangan antara AS dan China kembali meningkat setelah pemerintah AS, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, mengumumkan kenaikan tarif impor tambahan terhadap sejumlah produk China. Sebagai balasan, China mengancam akan mengenakan tarif baru terhadap produk-produk asal AS.

Langkah tersebut menimbulkan kekhawatiran investor bahwa konflik dagang ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global, termasuk permintaan terhadap minyak mentah. Pasar minyak, yang sangat sensitif terhadap prospek permintaan, langsung bereaksi dengan penurunan harga secara signifikan.

Prediksi Harga Minyak dari Goldman Sachs

Dalam laporan riset terbaru, Goldman Sachs memperkirakan bahwa harga rata-rata minyak Brent akan berada di kisaran USD 63 per barel dan WTI di USD 59 per barel untuk sisa tahun 2025. Sementara itu, proyeksi harga untuk tahun 2026 diperkirakan lebih rendah lagi, yaitu USD 58 per barel untuk Brent dan USD 55 per barel untuk WTI.

“Kami memperkirakan permintaan minyak global pada kuartal keempat tahun 2025 hanya akan tumbuh sekitar 300.000 barel per hari dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” ujar analis energi dari Goldman Sachs dalam laporannya,.

Kondisi ini mencerminkan ekspektasi pasar terhadap pemulihan ekonomi yang lemah dan terbatasnya peningkatan permintaan, terutama dari sektor industri dan transportasi yang terdampak langsung oleh kebijakan tarif dan ketidakpastian perdagangan.

Tekanan Tambahan dari Potensi Kebijakan AS terhadap Iran

Selain konflik dagang, pasar minyak global juga terpengaruh oleh perkembangan geopolitik lainnya, termasuk ancaman Amerika Serikat untuk menghentikan ekspor minyak dari Iran. Meskipun kabar ini sempat mendongkrak harga minyak secara temporer, dampaknya masih dibayangi oleh tekanan permintaan global yang melemah.

“Ancaman terhadap pasokan minyak global memang bisa mendongkrak harga dalam jangka pendek, tapi kekhawatiran terhadap permintaan jauh lebih dominan saat ini,” tulis laporan analis pasar energi Bloomberg.

Ketidakpastian Masih Membayangi Pasar

Para pelaku pasar saat ini berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, potensi gangguan pasokan akibat ketegangan geopolitik bisa membuat harga melonjak. Namun di sisi lain, proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang lemah menjadi penekan utama terhadap permintaan minyak mentah.

Analis energi independen, Ahmad Santoso, mengatakan bahwa volatilitas harga minyak akan terus tinggi hingga ada kepastian arah kebijakan perdagangan global.

“Selama konflik dagang antara AS dan China belum mereda, serta belum ada sinyal pemulihan ekonomi yang kuat, pasar minyak akan terus bergerak dalam ketidakpastian. Investor harus mewaspadai fluktuasi tajam,” ujarnya.

Dampak Terhadap Indonesia

Bagi Indonesia, sebagai negara net importir minyak, penurunan harga minyak dunia dalam jangka pendek bisa memberikan ruang fiskal yang lebih longgar terhadap subsidi energi. Namun, bila penurunan harga disebabkan oleh lesunya ekonomi global, maka risiko terhadap ekspor dan penerimaan negara juga patut diwaspadai.

“Penurunan harga minyak tentu punya dua sisi. Di satu sisi bagus untuk APBN karena mengurangi beban subsidi. Tapi jika ini akibat pelemahan ekonomi global, maka potensi penerimaan dari sektor lain seperti ekspor komoditas bisa tertekan,” ungkap pengamat ekonomi energi, Reza Primandita.

Harga minyak dunia yang terus tertekan menjadi indikator penting bahwa pasar global saat ini berada dalam kondisi rapuh. Sentimen negatif dari perang dagang AS-China terus menghantui pergerakan harga energi, sekaligus menambah tantangan bagi negara-negara berkembang dalam menjaga stabilitas fiskal dan ekonomi domestik. Ke depan, stabilitas harga minyak akan sangat tergantung pada arah kebijakan global, baik dari sisi perdagangan maupun geopolitik.

Terkini

Danantara Jadi Pilar Strategis Kemandirian Fiskal Indonesia

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:22 WIB

Hutama Karya Rayakan Harhubnas Dengan Jembatan Ikonik

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:21 WIB

Jasa Marga Tingkatkan Layanan Tol Cipularang Padaleunyi

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:19 WIB

Waskita Karya Garap Proyek Budidaya Ikan Nila

Rabu, 10 September 2025 | 18:30:17 WIB