JAKARTA — Tren gaya hidup mewah di kalangan anak muda kini makin menjamur, seiring maraknya budaya “flexing” atau pamer kemewahan di media sosial. Dari kopi mahal di kafe estetik hingga liburan ke Bali dan pembelian barang branded lewat cicilan, semuanya kian mudah diakses. Namun di balik penampilan serba wah itu, banyak anak muda justru terjebak dalam kondisi keuangan yang mengenaskan.
Fenomena ini menjadi ironi generasi produktif. Feed Instagram mereka mungkin dipenuhi foto penuh gaya, tetapi saldo rekening sering kali menyisakan notifikasi limit dan cicilan yang menumpuk. Gaya hidup ala sultan, namun isi dompet pas-pasan.
Budaya Flexing dan Tekanan Sosial
Budaya konsumtif ini tidak muncul tanpa alasan. Banyak generasi muda mengaku merasa tertekan oleh lingkungan sosial dan tuntutan untuk terlihat "berhasil" secara instan. Takut dianggap tidak mampu atau ketinggalan tren membuat mereka terdorong untuk tampil maksimal, meski dengan cara berutang atau mengorbankan kestabilan keuangan pribadi.
“Banyak dari mereka membeli barang bukan karena kebutuhan, tapi karena takut dikucilkan atau tidak dianggap gaul. Ini tekanan sosial yang nyata di era digital,” kata pakar keuangan dan edukator literasi finansial, Rika Andini.
Fenomena tersebut diperparah dengan kehadiran berbagai platform keuangan digital yang menawarkan kemudahan transaksi, seperti paylater dan cicilan tanpa DP. Anak muda yang baru mulai bekerja pun bisa langsung memiliki utang konsumtif sebelum sempat menabung atau memiliki dana darurat.
Risiko Jangka Panjang Gaya Hidup Konsumtif
Gaya hidup konsumtif bukan hanya berdampak pada saldo rekening, tetapi juga mengancam kestabilan finansial jangka panjang. Cita-cita memiliki rumah, kendaraan, atau modal usaha bisa tertunda bahkan batal karena kondisi keuangan yang tak sehat.
“Gaya hidup seperti ini efek dominonya luar biasa. Utang menumpuk, pengeluaran tak terkendali, dan mereka sulit merencanakan masa depan,” jelas Rika.
Ia menambahkan bahwa banyak anak muda belum memahami perbedaan antara aset dan liabilitas. Barang branded dan tren terbaru mungkin terlihat mengangkat citra, tetapi sesungguhnya merupakan beban jika dibeli dengan utang konsumtif.
Melek Keuangan Jadi Solusi
Namun bukan berarti anak muda harus berhenti menikmati hidup. Yang dibutuhkan adalah kesadaran akan pentingnya pengelolaan uang yang bijak.
“Kontrol adalah kuncinya. Hidup tetap bisa dinikmati, tapi harus tahu batas dan prioritas,” ujar Rika.
Ia menyarankan agar anak muda mulai mempelajari literasi keuangan dasar, seperti menyusun anggaran, membedakan kebutuhan dan keinginan, serta mulai menyiapkan dana darurat. Keputusan keuangan yang rasional harus menjadi kebiasaan baru.
Contohnya, jangan tergoda membeli barang hanya karena diskon besar jika memang tidak dibutuhkan. Atau, alihkan anggaran belanja fashion terkini ke investasi kecil-kecilan seperti reksa dana pasar uang atau emas digital.
Langkah Strategis Kelola Finansial di Era Digital
Ada beberapa langkah praktis yang bisa diterapkan anak muda untuk mulai membenahi keuangannya:
Buat Anggaran Bulanan
Rancang anggaran setiap awal bulan dan patuhi batas belanja. Jangan mengandalkan “nanti bisa dicicil”.
Pisahkan Rekening
Gunakan rekening berbeda untuk kebutuhan harian dan tabungan. Ini membantu menghindari pencampuran dana.
Mulai Investasi Ringan
Gunakan platform digital untuk investasi reksa dana atau emas. Tidak perlu besar, asal konsisten.
Tunda Pembelian Impulsif
Terapkan aturan 1–2 hari untuk berpikir ulang sebelum membeli barang yang diinginkan.
Evaluasi Mingguan
Cek pengeluaran mingguan. Cari tahu pos mana yang bisa dikurangi atau dihilangkan.
Berani Katakan “Tidak”
Tak perlu selalu ikut ajakan nongkrong atau beli barang baru jika tidak sejalan dengan kondisi keuangan. Itu bukan berarti pelit, tapi sadar prioritas.
“Anak muda harus berani bilang ‘nggak dulu’ demi kesehatan finansial. Jangan sampai gengsi bikin hidup sengsara,” tutur Rika.
Jangan Kalah oleh Citra Digital
Di tengah dominasi media sosial, citra sering kali lebih diutamakan ketimbang realitas. Namun, Rika mengingatkan bahwa keamanan finansial jauh lebih penting dibanding validasi sosial sementara.
“Saldo kosong tapi gayanya sultan itu ibarat bangun istana pasir. Indah di luar, rapuh di dalam,” ucapnya.
Rika menegaskan bahwa generasi muda masa kini butuh lebih dari sekadar skill kerja. Mereka juga harus dibekali dengan skill mengelola uang agar bisa bertahan dan berkembang di tengah tekanan zaman.
Kunci Bertahan di Era Hedonisme Digital
Pada akhirnya, yang bisa bertahan bukanlah yang paling banyak tampil atau paling sering liburan, tetapi mereka yang bisa menyeimbangkan antara menikmati hidup saat ini dan menyiapkan masa depan.
“Finansial yang sehat itu bukan soal berapa penghasilanmu, tapi bagaimana kamu mengelolanya,” kata Rika menutup.
Dengan pemahaman ini, anak muda diharapkan tidak hanya menjadi generasi yang tampil keren, tapi juga kuat secara finansial. Karena hidup bukan sekadar tentang siapa yang paling terlihat, tapi siapa yang paling siap.