JAKARTA – Upaya transisi energi di Indonesia kian mendesak seiring meningkatnya kebutuhan energi nasional akibat pertumbuhan penduduk dan percepatan industrialisasi. Dalam konteks ini, kelas menengah Indonesia muncul sebagai aktor kunci dalam mendorong perubahan pola konsumsi energi menuju sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan. Dengan jumlah populasi yang terus meningkat dan karakteristik konsumsi energi yang tinggi, kontribusi kelas menengah dinilai sangat strategis untuk menyukseskan agenda transisi energi nasional.
Transisi Energi: Target dan Tantangan
Transisi energi yang dimaksud mengacu pada peralihan bertahap dari dominasi energi fosil menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang menekankan pentingnya diversifikasi sumber energi guna mewujudkan kemandirian energi nasional. Pemerintah sendiri telah menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 serta pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Namun, pencapaian target ini bukan tanpa tantangan. Selain keterbatasan infrastruktur dan investasi, rendahnya tingkat literasi energi bersih di kalangan masyarakat, khususnya kelas menengah, menjadi salah satu hambatan utama. Banyak dari mereka yang belum memahami manfaat konkret dari penggunaan energi bersih, seperti efisiensi biaya operasional atau dampak positifnya terhadap kualitas lingkungan.
Kelas Menengah: Populasi Kritis dan Konsumen Energi Besar
Kelas menengah di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 50 juta orang dan terus mengalami pertumbuhan setiap tahun. Kelompok ini sebagian besar tinggal di kawasan urban, memiliki daya beli yang relatif kuat, serta gaya hidup yang sarat konsumsi energi dari penggunaan kendaraan pribadi, pendingin ruangan, hingga perangkat elektronik rumah tangga.
Dengan proyeksi bahwa kelas menengah akan mendominasi struktur populasi di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2030, posisi mereka menjadi sangat penting dalam pengendalian konsumsi energi nasional. Konsumsi rumah tangga dari kelas ini berperan signifikan dalam menentukan arah pembangunan energi ke depan.
Namun sayangnya, masih banyak dari mereka yang melihat transisi energi sebagai beban tambahan atau urusan negara semata. Teknologi seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, kendaraan listrik, dan peralatan rumah tangga hemat energi masih dipandang sebagai barang mahal yang hanya bisa diakses oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
Mitos Energi Bersih Mahal: Perlu Diluruskan
Salah satu persepsi yang keliru di masyarakat adalah bahwa penggunaan energi bersih selalu mahal. Memang, biaya awal untuk memasang PLTS atau membeli kendaraan listrik tergolong tinggi. Namun, jika dilihat dari sudut efisiensi jangka panjang, biaya tersebut justru dapat tertutupi oleh penghematan tagihan listrik dan pengurangan biaya operasional kendaraan.
Teknologi energi bersih kini juga semakin terjangkau seiring dengan perkembangan pasar dan dukungan regulasi pemerintah. Beberapa produk bahkan sudah tersedia dengan skema pembiayaan ringan dan insentif fiskal, yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah.
Peluang Perubahan Konsumsi: Gaya Hidup dan Investasi Hijau
Kebiasaan konsumsi kelas menengah juga membuka peluang besar untuk pergeseran menuju gaya hidup berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa lebih dari 40% pengeluaran rumah tangga kelas menengah digunakan untuk kebutuhan non-esensial seperti gadget, kendaraan, dan gaya hidup. Anggaran ini dapat dialihkan sebagian untuk investasi dalam teknologi ramah lingkungan yang tidak hanya menguntungkan secara pribadi, tetapi juga berdampak positif pada lingkungan.
Misalnya, alih-alih membeli kendaraan konvensional baru, kelas menengah dapat mempertimbangkan kendaraan listrik yang lebih efisien dan rendah emisi. Selain itu, pengeluaran rutin untuk listrik rumah tangga dapat ditekan dengan memasang panel surya atau menggunakan peralatan elektronik berstandar hemat energi.
Kebutuhan Sinergi dan Akses yang Merata
Untuk memaksimalkan potensi kelas menengah dalam transisi energi, diperlukan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Edukasi publik harus diperluas agar pemahaman terhadap energi bersih meningkat. Selain itu, perluasan akses terhadap infrastruktur energi bersih seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan layanan pemasangan PLTS atap perlu dipercepat dan diperluas hingga ke kota-kota tingkat dua dan tiga.
Insentif fiskal dan kemudahan pembiayaan juga penting untuk mendorong minat investasi hijau dari kelas menengah. Ketika mereka melihat bahwa energi bersih bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi langsung, maka adopsi teknologi ramah lingkungan akan meningkat secara signifikan.
Transisi energi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau industri besar. Kelas menengah Indonesia memiliki peran vital dalam mendukung upaya ini, baik sebagai konsumen, investor, maupun agen perubahan. Dengan literasi yang lebih baik, kebijakan yang inklusif, serta kemudahan akses terhadap teknologi energi bersih, kelas menengah dapat menjadi katalis utama dalam mewujudkan masa depan energi yang lebih hijau dan berkelanjutan di Indonesia.
Sudah saatnya masyarakat kelas menengah melihat energi bersih bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang untuk hidup lebih efisien, sehat, dan berkontribusi dalam menyelamatkan lingkungan. Transisi energi yang adil dan inklusif harus dimulai dari sekarang, dan kelas menengah adalah pusat dari perubahan tersebut.