JAKARTA - Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah memberikan banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari membantu menyelesaikan tugas dengan cepat hingga memberikan solusi instan di berbagai bidang. Namun, di balik efisiensi yang ditawarkan, para ahli kini mulai mengungkap potensi bahaya dari penggunaan AI secara berlebihan, terutama terhadap fungsi kognitif manusia.
Dalam siaran langsung program Pos Jaga RRI Pro 2 Singaraja, Kamis (26/6/2025), psikolog klinis I Rai Hardika, M.Psi., menyampaikan peringatan serius terkait efek jangka panjang dari ketergantungan pada kecerdasan buatan. Merujuk pada hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT), Hardika menyebutkan bahwa penggunaan AI untuk menyelesaikan tugas-tugas kognitif secara terus-menerus dapat menurunkan aktivitas otak secara signifikan.
“Ini bukan cuma teori. Pemindaian EEG menunjukkan otak pengguna AI jadi lebih ‘diam’. Mereka memang lebih cepat menyelesaikan tugas, tapi otaknya tidak bekerja secara optimal,” ungkap Hardika.
Hasil Penelitian MIT: Kreativitas dan Fokus Menurun Tajam
Penelitian MIT yang dikutip oleh Hardika menunjukkan bahwa penggunaan AI untuk menggantikan kerja otak manusia berdampak langsung pada gelombang otak yang terkait dengan kreativitas dan fokus. Gelombang tersebut mengalami penurunan drastis, yang berarti otak menjadi kurang aktif dalam memproses ide-ide baru dan dalam mempertahankan konsentrasi.
Lebih lanjut, penelitian itu juga menemukan adanya penurunan konektivitas antarbagian utama di otak. Artinya, komunikasi antarbagian otak yang sebelumnya aktif dalam menyelesaikan tugas kompleks menjadi lebih lambat dan terbatas setelah pengguna terbiasa menggunakan AI sebagai alat bantu utama.
“Konektivitas saraf antarbagian otak menyusut hampir setengahnya pada pengguna intensif AI. Ini berarti kemampuan berpikir strategis dan pemecahan masalah juga ikut terpengaruh,” tambah Hardika.
Efisiensi yang Menyamar sebagai Kemalasan Otak
Menurut Hardika, kondisi ini bisa dikatakan sebagai fenomena “kemalasan otak”. Meskipun dari luar terlihat produktif karena tugas selesai lebih cepat, namun kenyataannya otak pengguna tidak lagi bekerja dengan optimal. Otak tidak diajak berpikir keras atau memproses informasi secara mendalam.
“AI seperti pisau bermata dua. Di satu sisi sangat membantu, tapi di sisi lain membuat otak manusia menjadi pasif dan kehilangan kemampuannya secara perlahan,” katanya.
Dalam jangka panjang, kemunduran ini bisa berdampak serius pada kemampuan berpikir kritis, memori jangka panjang, hingga kemampuan belajar mandiri.
Siapa yang Paling Rentan?
Kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif ini adalah generasi muda, terutama pelajar dan mahasiswa yang semakin terbiasa menggunakan AI dalam proses belajar. Ketergantungan ini membuat mereka enggan untuk berpikir secara mandiri dan lebih memilih solusi instan.
“Ketika anak-anak atau remaja terlalu sering menggunakan AI untuk mengerjakan tugas sekolah, maka kemampuan analitis dan kreatif mereka menurun secara drastis,” terang Hardika.
Hal ini juga berdampak pada proses pengambilan keputusan yang menjadi lebih dangkal karena minimnya latihan otak untuk memproses informasi dari berbagai sudut pandang.
Solusi: Gunakan AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti
Untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi otak akibat AI, Hardika menyarankan agar masyarakat menjadikan teknologi tersebut sebagai mitra kerja, bukan sebagai pengganti pemikiran manusia. Artinya, AI dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mempercepat proses, tetapi keputusan akhir tetap dilakukan melalui pemikiran logis dan pertimbangan kritis manusia.
“Kita perlu mengedukasi publik, khususnya anak muda, tentang cara menggunakan AI secara sehat. Jangan biarkan otak kita dimanjakan dan akhirnya melemah,” jelasnya.
Ia juga menganjurkan kegiatan harian yang menstimulasi otak, seperti membaca buku fisik, berdiskusi langsung dengan orang lain, menulis tangan, dan bermain permainan strategi seperti catur atau teka-teki logika.
Pentingnya Literasi Digital dan Keseimbangan Teknologi
Masalah ini juga menjadi bagian penting dalam diskusi literasi digital di Indonesia. Pemerintah dan institusi pendidikan diimbau untuk tidak hanya mengenalkan teknologi, tetapi juga memberikan pemahaman mengenai dampak dan cara penggunaannya secara bijak.
“Teknologi harus mendukung manusia, bukan menggantikannya. Kalau kita tidak membangun budaya digital yang sehat dari sekarang, maka kita akan punya generasi yang canggih secara teknologi tapi tumpul dalam berpikir,” pungkas Hardika.
Teknologi kecerdasan buatan merupakan terobosan yang sangat membantu dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, ketergantungan berlebihan terhadap AI, khususnya dalam menyelesaikan tugas-tugas berpikir, dapat membawa dampak buruk pada kesehatan otak. Penelitian dari MIT dan pandangan para psikolog seperti I Rai Hardika, M.Psi. menjadi peringatan nyata agar kita tidak melupakan pentingnya peran otak dalam proses belajar dan bekerja.
Dengan pemanfaatan AI yang bijak dan seimbang, masyarakat dapat meraih manfaat maksimal dari teknologi tanpa harus mengorbankan kemampuan kognitif dan kreativitas yang menjadi ciri khas manusia.