JAKARTA - Di tengah pesatnya kemajuan teknologi kecerdasan artifisial (AI) yang kian merambah dunia kerja, kekhawatiran soal otomatisasi dan penggantian peran manusia oleh mesin semakin mengemuka. Namun, pakar budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman, justru melihat kemunculan AI sebagai peluang untuk memperkuat kemampuan profesional dan meningkatkan efisiensi kerja, bukan sebagai ancaman yang harus ditakuti. Menurutnya, kunci agar pekerja tetap relevan dan tak tergantikan oleh AI adalah dengan memanfaatkan teknologi ini sebagai alat pendukung, serta terus mengasah kemampuan berpikir kritis dan kontekstual yang belum dapat digantikan oleh mesin.
Perkembangan teknologi Artificial Intelligence (AI) memang membawa perubahan besar di berbagai sektor pekerjaan. Banyak tugas rutin yang sebelumnya membutuhkan waktu lama, kini dapat diselesaikan lebih cepat dengan bantuan AI. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana pekerja profesional dapat menyesuaikan diri agar tetap memiliki nilai tambah dan tidak tergantikan oleh automasi tersebut?
Firman, pakar budaya dan komunikasi digital dari UI, memberikan dua saran utama agar pekerja tetap dapat bertahan di era AI ini. Pertama, ia menyarankan agar AI dipandang bukan sebagai pesaing, melainkan sebagai “teman” atau “konsultan” yang dapat membantu mempercepat dan menyempurnakan pekerjaan sehari-hari. Misalnya, seorang peneliti kini dapat menggunakan AI untuk meringkas jurnal dan literatur yang menjadi latar belakang penelitian, yang sebelumnya harus dikerjakan secara manual. Dengan begitu, waktu yang biasa dihabiskan untuk membaca dan mengolah data bisa dipangkas dan dialihkan ke hal-hal yang lebih kreatif dan analitis.
“Jadi perlakukan AI itu seperti teman atau seperti konsultan. Itu kan menjadi daya tambahan kita untuk mengerjakan pekerjaan lebih baik,” ujar Firman.
Namun, Firman juga menekankan pentingnya menjaga daya kritis dalam penggunaan AI. Hasil kerja AI tidak boleh diterima begitu saja tanpa evaluasi karena teknologi ini masih memiliki keterbatasan. Pekerja harus tetap aktif berpikir dan membuat keputusan berdasarkan konteks dan pemahaman yang hanya bisa dimiliki manusia. Dengan demikian, penggunaan AI bisa benar-benar optimal tanpa menggantikan peran manusia.
Saran kedua yang diberikan Firman adalah agar para pekerja terus mengasah kemampuan yang belum bisa dilakukan oleh AI, terutama kemampuan berpikir kontekstual dan membuat keputusan atas kesadaran sendiri. Walaupun AI kini makin canggih dan bisa menawarkan berbagai solusi, alat ini tetap bergantung pada instruksi manusia. Artinya, AI tidak bisa bertindak tanpa perintah atau inisiatif dari manusia.
“AI itu dapat melakukan automasi asal ada perintah dari manusia. Ketika diperintah, dia (AI) baru bisa melakukan suatu tindakan. Nah manusia dalam hal ini lebih unggul karena melakukan sesuatu atas kehendaknya sendiri, atas kesadaran sendiri,” jelas Firman. Menurutnya, bidang-bidang yang memerlukan kreativitas, intuisi, dan pemahaman mendalam tentang konteks sosial budaya akan tetap menjadi ladang pekerjaan baru yang menjanjikan bagi manusia.
Contoh penerapan nyata dapat ditemukan di dunia jurnalistik. Meskipun AI sudah bisa digunakan untuk membuat berita sederhana dengan data yang sudah tersedia, pekerjaan jurnalistik yang lebih kompleks seperti laporan mendalam, investigasi, dan analisis kritis masih membutuhkan sentuhan manusia. AI belum mampu menggantikan kepekaan dan sudut pandang manusia dalam mengolah informasi tersebut.
Fenomena ini menegaskan bahwa profesi yang menuntut interaksi sosial, kreativitas, dan pengambilan keputusan strategis tetap akan didominasi oleh manusia. Sementara AI lebih berperan sebagai alat bantu yang meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Selain itu, Firman juga menyinggung kemungkinan adanya inovasi teknologi dan fitur baru di bidang perangkat lunak yang dapat memperkaya fungsi AI, namun hal tersebut justru membuka peluang bagi pekerja untuk mempelajari dan menguasai teknologi tersebut, sehingga mereka bisa lebih adaptif dan produktif di masa depan.
Melihat fakta ini, pekerja profesional harus mengadopsi sikap proaktif dalam menghadapi perkembangan AI. Jangan takut, tapi manfaatkan AI sebagai alat pelengkap, dan terus kembangkan kompetensi yang berorientasi pada aspek manusia yang unik, seperti kemampuan analisis kritis, kreativitas, empati, dan pengambilan keputusan berbasis konteks.
Kesimpulannya, kemunculan AI bukanlah ancaman akhir bagi para pekerja, melainkan sebuah tantangan sekaligus kesempatan untuk bertransformasi menjadi versi diri yang lebih unggul dan relevan. Dengan menggabungkan keunggulan teknologi dan kemampuan manusia, masa depan dunia kerja justru dapat menjadi lebih cerah dan produktif.