JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini membuka lembar baru dalam tata kelola pertambangan nasional. Sejalan dengan usulan Komisi XII DPR RI, Kementerian ESDM menyetujui rencana evaluasi kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) bagi pemegang izin pertambangan dan batu bara. Fokus utamanya: meninjau kembali masa berlaku RKAB yang sebelumnya ditetapkan selama tiga tahun agar dikembalikan menjadi satu tahun.
Usulan ini muncul sebagai bentuk respon atas tantangan industri pertambangan, khususnya dalam hal kelebihan pasokan dan fluktuasi harga komoditas, yang dinilai sudah mempengaruhi stabilitas penerimaan negara dan keberlanjutan usaha tambang.
Bahlil Tegaskan Pentingnya Penyesuaian dengan Dinamika Pasar
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, melalui keterangan resminya, menyampaikan urgensi penyempurnaan tata kelola sektor ini. Ia menegaskan bahwa RKAB yang disetujui tanpa mempertimbangkan situasi pasar menjadi salah satu penyebab anjloknya harga batubara.
"Tata kelola pertambangan harus diperbaiki, baik komoditi batubara maupun mineral. Khususnya untuk komoditas batubara harganya saat ini sedang anjlok akibat kelebihan pasokan," ujar Bahlil.
Ia menambahkan, kelebihan pasokan tersebut berakar dari RKAB jangka panjang yang tidak adaptif terhadap kebutuhan pasar dunia. Dengan sistem yang longgar, pelaku usaha diberikan izin produksi besar selama tiga tahun, tanpa jaminan bahwa permintaan pasar akan seimbang dalam rentang waktu tersebut.
Produksi Indonesia Dominasi Hampir Setengah Pasar Dunia
Bahlil mengungkapkan bahwa meskipun konsumsi global batubara mencapai sekitar 8-9 miliar ton, volume yang diperdagangkan di pasar internasional hanya berkisar 1,2 hingga 1,3 miliar ton.
“Dengan produksi ekspor batubara berada di kisaran 600-700 juta ton. Sehingga hampir 50 persen pasokan batubara dunia berasal dari Indonesia," jelasnya.
Angka tersebut menunjukkan betapa dominannya posisi Indonesia dalam pasar ekspor batubara dunia. Namun, dominasi ini justru membawa tantangan baru ketika pasokan melampaui permintaan dan harga komoditas menurun tajam.
Dampak Langsung: Penambang Merugi, PNBP Menurun
Penurunan harga batubara tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga berdampak pada keuangan negara. Bahlil menggarisbawahi bahwa harga batubara yang terus melemah akan mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor tersebut.
"Persetujuan RKAB jor-joran tiga tahun, kita kesulitan menyesuaikan volume produksi batubara dengan kebutuhan dunia, sehingga harga terus tertekan," ujarnya lagi.
Dalam skema ini, negara kehilangan potensi pemasukan, sementara pelaku industri tambang harus menanggung kerugian akibat over supply yang tak tertahan.
Kesamaan Nasib: Mineral Juga Alami Tekanan
Tidak hanya batubara yang terpengaruh. Bahlil menegaskan bahwa komoditas mineral pun mengalami tekanan yang serupa. Harga jual yang tidak sebanding dengan biaya operasional menambah beban pelaku usaha tambang.
Atas dasar itu, baik DPR maupun Kementerian ESDM melihat perlunya kesamaan sikap dalam mengevaluasi RKAB untuk seluruh jenis komoditas pertambangan. Tujuannya jelas, agar kebijakan yang dihasilkan lebih akurat, terukur, dan sesuai kondisi aktual pasar global.
Mekanisme Evaluasi: Kembali ke Sistem Satu Tahun
Usulan pengembalian RKAB menjadi berlaku satu tahun bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih fleksibel dan realistis dalam merespons dinamika pasar. Dengan masa berlaku yang lebih pendek, pemerintah bisa melakukan penyesuaian secara berkala, sehingga volume produksi tetap sejalan dengan permintaan aktual.
Bahlil melihat bahwa pendekatan ini dapat mengurangi potensi distorsi pasar, menjaga stabilitas harga komoditas, serta meningkatkan keakuratan proyeksi penerimaan negara.
Peluang Jangka Panjang untuk Tata Kelola Berkelanjutan
Jika kebijakan baru ini benar-benar diterapkan, Indonesia memiliki peluang besar untuk menciptakan sistem tata kelola pertambangan yang lebih adaptif. Dengan penyesuaian regulasi seperti ini, pemerintah juga bisa meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas tambang, termasuk dari sisi lingkungan, keselamatan kerja, hingga praktik tata niaga ekspor.
Evaluasi berkala juga memungkinkan integrasi dengan teknologi pelaporan produksi real-time dan sistem digitalisasi tambang, yang kini tengah dikembangkan oleh berbagai kementerian dan lembaga.
Menata Ulang Tata Kelola, Menjaga Daya Saing
Langkah untuk mengevaluasi masa berlaku RKAB dari tiga tahun menjadi satu tahun menandai kemauan pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan realita lapangan. Ini menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak hanya mengutamakan penerimaan jangka pendek, tetapi juga kelestarian industri pertambangan dalam jangka panjang.
Dengan cadangan sumber daya alam yang besar, Indonesia berpotensi tetap menjadi pemimpin pasar dunia asalkan pengelolaannya tepat dan adaptif terhadap perubahan pasar. Evaluasi RKAB menjadi salah satu fondasi utama menuju tata kelola pertambangan yang lebih sehat, efisien, dan berkelanjutan.