JAKARTA - Di zaman digital yang semakin maju, gadget bukan lagi barang mewah atau sekadar alat komunikasi. Gadget sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk anak-anak sekalipun. Orang tua sering kali dihadapkan pada dilema: kapan waktu tepat memperkenalkan gadget pada anak? Apakah gadget akan membantu tumbuh kembang mereka atau justru menjadi sumber masalah seperti kecanduan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap muncul, apalagi saat teknologi terus merambah hampir seluruh aspek kehidupan anak.
Psikolog Anak sekaligus Co-Founder BN Montessori dan Good Enough Parents, Pritta Tyas, memberikan pandangan yang sangat penting dan membumi mengenai hal ini. Dalam sebuah acara peluncuran perangkat baru di Jakarta Selatan pada Juli 2025, Pritta membagikan insight tentang kapan dan bagaimana anak-anak sebaiknya diperkenalkan pada gadget agar penggunaan teknologi bisa mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal, bukan malah menjadi beban.
Menurut Pritta, yang utama bukan sekadar usia anak diperkenalkan gadget, melainkan kemampuan kontrol diri anak terhadap perangkat tersebut. "Anak harus sudah bisa mengontrol perangkat, termasuk menyalakan dan mematikannya," ujar Pritta. Dengan kata lain, anak yang belum memiliki kontrol terhadap gadget akan sulit untuk memanfaatkan teknologi dengan sehat dan bertanggung jawab.
Lantas, berapa sebenarnya usia yang ideal? Pritta menyarankan bahwa minimal anak boleh mulai menggunakan gadget pada usia 4 atau 5 tahun. Usia ini dianggap tepat karena anak sudah memiliki tingkat kontrol diri yang mulai berkembang. Namun, ini bukan aturan baku yang kaku. Orang tua tetap harus memantau dan membimbing anak agar penggunaan gadget bisa benar-benar bermanfaat.
Mengapa membatasi usia di bawah 4 tahun? Banyak penelitian menunjukkan bahwa terlalu dini memperkenalkan anak pada gadget dapat mengganggu perkembangan sosial, motorik, dan kognitif mereka. Anak-anak di bawah usia tersebut lebih optimal belajar dari interaksi langsung dengan orang tua dan lingkungan sekitar, melalui sentuhan, suara, dan permainan fisik.
Namun, bukan berarti gadget sepenuhnya dilarang. Pritta menegaskan bahwa gadget dapat menjadi teman belajar yang baik jika digunakan dengan cara yang benar dan bersama pengawasan orang tua. Salah satu kunci agar gadget tidak menjadi “musuh” adalah dengan orang tua mengenal dan memahami fitur serta aplikasi yang digunakan oleh anak.
Orang tua dianjurkan untuk mencoba dulu aplikasi atau konten yang akan diberikan pada anak. Pastikan aplikasi tersebut aman, edukatif, dan sesuai dengan usia anak. "Orang tua juga harus bisa mendampingi anak saat menggunakan gadget," kata Pritta. Pendampingan ini penting agar anak tidak sekadar menjadi konsumen pasif, tetapi dapat diarahkan untuk mengembangkan bakat dan minat mereka.
Contohnya, jika anak suka menggambar, maka aplikasi gambar digital dapat digunakan sebagai sarana menyalurkan kreativitas mereka. Jika anak senang bernyanyi, video interaktif atau aplikasi karaoke anak bisa jadi pilihan. "Kuncinya ada di pengawasan," tutup Pritta.
Salah satu perangkat yang baru saja diperkenalkan dan cocok untuk kebutuhan belajar dan bermain anak adalah Redmi Pad 2. Tablet ini menawarkan layar besar 11 inci dengan resolusi 2.5K dan refresh rate 90Hz, serta empat speaker yang dilengkapi teknologi Dolby Atmos. Perangkat ini memberikan pengalaman visual dan audio yang imersif, sangat ideal untuk mengikuti kelas online, belajar interaktif, maupun hiburan keluarga.
Dengan baterai berkapasitas 9000 mAh, Redmi Pad 2 dapat digunakan dalam waktu lama, mendukung aktivitas belajar dan bermain tanpa sering mengisi ulang. Dibanderol dengan harga sekitar Rp 1.999.000, tablet ini juga terjangkau bagi kebanyakan keluarga.
Teknologi seperti Redmi Pad 2, bila dimanfaatkan dengan tepat, dapat menjadi media yang efektif bagi anak-anak untuk belajar di era digital. Namun ingat, perangkat canggih sekalipun tidak bisa menggantikan peran orang tua dalam mendampingi dan membimbing anak.
Selain itu, di era di mana akses informasi begitu mudah, pengawasan konten menjadi semakin penting. Konten yang tidak sesuai usia bisa berdampak negatif pada psikologis dan perkembangan anak. Oleh sebab itu, penggunaan gadget harus dibarengi dengan aturan dan komunikasi yang jelas antara orang tua dan anak.
Di sisi lain, masyarakat dan orang tua pun perlu menyadari bahwa gadget adalah alat, bukan tujuan. Gadget menjadi pendukung, bukan pengganti, interaksi manusia, terutama interaksi orang tua dan anak. Keterbatasan ini harus dipahami agar penggunaan gadget benar-benar membawa manfaat maksimal tanpa dampak buruk.
Peran gadget dalam membantu pendidikan dan hiburan anak semakin nyata, terutama di masa pandemi saat pembelajaran jarak jauh menjadi kebutuhan utama. Namun, Pritta mengingatkan agar gadget tetap menjadi alat yang digunakan secara bijaksana.
Kecanduan gadget dan tantrum akibat ketergantungan harus dihindari dengan cara menetapkan batas waktu penggunaan yang jelas dan konsisten. Ini penting agar anak tetap memiliki keseimbangan antara aktivitas fisik, sosialisasi langsung, dan penggunaan teknologi.
Secara keseluruhan, penggunaan gadget pada anak-anak tidak boleh dilakukan sembarangan. Waktu pengenalan, jenis perangkat, aplikasi yang digunakan, hingga pendampingan orang tua semuanya harus diperhatikan dengan seksama.
Pendekatan ini juga sejalan dengan upaya membentuk generasi yang adaptif terhadap teknologi tanpa kehilangan kemampuan sosial dan emosional yang sehat. Gadget menjadi jembatan bagi anak-anak mengenal dunia lebih luas, bukan jebakan yang memenjarakan mereka dalam kecanduan.
Penting bagi para orang tua untuk selalu belajar dan mengikuti perkembangan teknologi, serta memahami bagaimana gadget dapat dimanfaatkan untuk mendukung tumbuh kembang anak secara positif.
Dengan begitu, anak-anak dapat tumbuh menjadi generasi yang cerdas, kreatif, dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi di era digital ini.