Nikel Pilar Teknologi Global, Indonesia Pegang Kendali Strategis

Minggu, 06 Juli 2025 | 11:52:30 WIB
Nikel Pilar Teknologi Global, Indonesia Pegang Kendali Strategis

JAKARTA - Di tengah sorotan dunia pada inovasi teknologi dan transisi energi hijau, terdapat satu unsur logam yang diam-diam menjadi pondasi dari segalanya nikel. Ia tak hanya menjadi bahan baku industri, tetapi juga memainkan peran penting dalam menopang kehidupan modern dan pembangunan global. Indonesia, sebagai pemilik cadangan terbesar di dunia, kini menjadi pemain kunci dalam ekosistem nikel global.

Nikel bukanlah logam biasa. Ia hadir dalam hampir setiap benda yang digunakan masyarakat modern, mulai dari ponsel, kendaraan listrik, hingga komponen sistem energi terbarukan. Dari sudut dapur rumah tangga hingga sistem pertahanan negara, dari struktur jembatan hingga sistem transportasi cepat, nikel adalah elemen yang menyatukan semuanya.

Tak banyak yang menyadari bahwa dalam satu unit ponsel pintar terdapat hingga 0,05 gram nikel, jumlah yang tampak kecil namun sangat vital untuk efisiensi baterai dan ketahanan komponen elektronik. Begitu pula dalam kendaraan listrik, nikel menjadi elemen utama dalam katoda baterai, yang menentukan seberapa jauh kendaraan dapat melaju dalam sekali pengisian.

Lebih dari itu, nikel memainkan peran strategis di ranah geopolitik. Negara-negara dengan kemampuan memproduksi dan mengolah nikel secara mandiri memiliki keunggulan dalam kompetisi teknologi masa depan. Bagi Indonesia, hal ini bukan semata soal eksplorasi sumber daya, tetapi tentang kedaulatan ekonomi dan posisi strategis global.

Indonesia memiliki cadangan nikel mencapai 21 juta ton, sekitar 22% dari total cadangan global. Dengan kekayaan ini, Indonesia tidak hanya menjadi sumber bahan baku, melainkan juga pusat transformasi industri berbasis nikel. Salah satu langkah besar yang dilakukan adalah kebijakan hilirisasi—melarang ekspor bijih mentah dan mendorong pembangunan industri pengolahan dalam negeri.

Kebijakan ini berbuah manis. Nilai ekspor nikel yang telah diolah meningkat signifikan. Jika sebelumnya hanya bernilai sekitar US$3,3 miliar, dalam waktu beberapa tahun melonjak menjadi lebih dari US$35 miliar, bahkan sempat menyentuh angka US$40 miliar. Kontribusinya terhadap devisa negara mencapai ratusan triliun rupiah, memperlihatkan dampak luar biasa dari strategi ini.

Tak hanya itu, penerimaan negara dari sektor ini juga melonjak. Penerimaan pajak dari industri hilirisasi nikel mencapai lebih dari Rp17 triliun, dengan kontribusi besar dari PPh badan, PPh karyawan, dan PPN. Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam non-migas, termasuk nikel, turut memberikan kontribusi besar terhadap APBN. Di daerah-daerah penghasil seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, pendapatan dari sektor ini mencapai lebih dari Rp10 triliun, yang sangat membantu pembangunan wilayah.

Hilirisasi bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi bagian dari visi jangka panjang membangun industri nasional yang tangguh. Indonesia tak ingin terjebak menjadi eksportir bahan mentah yang rendah nilai tambah. Melalui pembangunan kawasan industri seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah, ekosistem industri nikel terintegrasi dibangun dari smelter, pabrik pengolahan nikel, hingga produksi bahan baku baterai kendaraan listrik.

Perusahaan nasional dan multinasional turut berinvestasi dalam rantai pasok ini. PT Vale Indonesia, misalnya, terus memperluas produksi dan investasi. Harita Nickel juga berkontribusi dengan membangun pabrik nikel sulfat pertama di Indonesia serta memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), bahan utama pembuatan katoda baterai EV.

Dalam sektor konstruksi, nikel menjadi elemen utama dalam pembuatan baja tahan karat yang digunakan pada gedung pencakar langit, jembatan, dan berbagai infrastruktur penting lainnya. Di dunia transportasi, rel kereta, badan MRT, hingga komponen pesawat terbang juga mengandalkan logam ini. Bahkan dalam bidang pertahanan, nikel digunakan untuk pembuatan superalloy pada mesin jet, kapal selam, dan pelat baja militer.

Perannya dalam sektor energi juga tidak kalah penting. Turbin angin, panel surya, dan infrastruktur pembangkit lainnya memerlukan nikel dalam komponen yang harus tahan terhadap lingkungan ekstrem, terutama di laut atau daerah lembap.

Namun, potensi besar ini tentu datang dengan tantangan. Pasar global nikel sangat fluktuatif. Ketegangan geopolitik, persaingan teknologi, dan upaya diversifikasi sumber daya oleh negara lain terus memengaruhi harga dan permintaan. Meski demikian, proyeksi ke depan tetap menjanjikan. Diperkirakan, pada 2040 permintaan nikel untuk baterai akan meningkat hingga 19 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya.

Menteri ESDM menyebut bahwa hilirisasi adalah “jalan tengah” yang memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan sumber daya nasional. Ia menegaskan, Indonesia tidak ingin mengulang kesalahan sejarah—menjual mentah, membeli mahal.

Kini, saat dunia bergegas beralih ke kendaraan listrik, sistem energi rendah karbon, dan teknologi hijau, nikel akan menjadi pusat dari segala transformasi tersebut. Dan Indonesia, dengan seluruh keunggulan dan kebijakannya, sudah berada di tengah panggung. Tinggal bagaimana negara ini menjaga arah agar tetap pada jalur berkelanjutan dan berkeadilan.

Tanpa nikel, dunia akan kehilangan pijakan teknologinya. Dan tanpa pengelolaan bijak, Indonesia bisa kehilangan peluang emasnya. Tapi selama nikel tetap dikelola secara bertanggung jawab, masa depan dunia dan kebangkitan industri nasional dapat berjalan seiring.

Terkini

Empat Tablet Acer Iconia Baru Hadir Dengan Fitur Modern

Kamis, 11 September 2025 | 12:06:38 WIB

Axioo Pongo Monster X 2025: Laptop Gaming Lokal Superpower

Kamis, 11 September 2025 | 12:06:34 WIB

Laptop LG Gram 17 Hadir dengan Performa Andal

Kamis, 11 September 2025 | 12:06:32 WIB

Sharp AQUOS QLED Hadirkan Warna Tajam dan Realistis

Kamis, 11 September 2025 | 12:06:29 WIB

Polytron EQLED 50 Inch Hadirkan Layar 4K Cemerlang

Kamis, 11 September 2025 | 12:06:25 WIB