PAJAK

Aturan Pajak Kripto Baru Dipercepat, Target Berlaku 2026

Aturan Pajak Kripto Baru Dipercepat, Target Berlaku 2026
Aturan Pajak Kripto Baru Dipercepat, Target Berlaku 2026

JAKARTA - Langkah pemerintah Indonesia dalam menata ulang regulasi aset digital, khususnya kripto dan logam mulia (bullion), kini memasuki tahap finalisasi. Setelah wewenang pengawasan kripto resmi berpindah dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perhatian kini difokuskan pada pembentukan regulasi pajak yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri.

Kebijakan pajak baru ini dirancang sebagai bagian dari strategi nasional untuk memperluas basis penerimaan negara dari sektor ekonomi digital. Pemerintah menargetkan kebijakan ini mulai diterapkan pada tahun 2026, dengan pendekatan yang lebih kuat terhadap digitalisasi transaksi, baik domestik maupun lintas negara.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyampaikan bahwa pihaknya tengah memfinalisasi sejumlah kebijakan yang menyangkut pajak atas transaksi kripto serta mekanisme pengawasan bullion melalui lembaga jasa keuangan yang ditunjuk secara resmi.

“Kita juga sedang merencanakan dan memfinalisasi beberapa kebijakan yang terkait dengan pengenaan pajak transaksi atas aset kripto dan juga penunjukan lembaga jasa keuangan untuk bullion. Selain itu, sistem kita perkuat terus, kita kembangkan terus, kita sempurnakan,” kata Bimo dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI.

Aset Digital Jadi Fokus Penguatan Sistem Perpajakan

Seiring dengan berkembangnya investasi digital, aset seperti kripto kian populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sejak diberlakukannya PMK Nomor 68/PMK.03/2022, kripto telah masuk dalam sistem perpajakan nasional dan menjadi objek pajak resmi.

Direktorat Jenderal Pajak mencatat bahwa hingga 31 Maret 2025, penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital telah mencapai Rp34,91 triliun. Dari jumlah tersebut, kontribusi dari transaksi kripto mencapai Rp1,2 triliun. Angka ini memperlihatkan bahwa kripto bukan lagi sektor pinggiran, melainkan bagian penting dari ekosistem fiskal digital.

Namun, Bimo juga mengakui bahwa ada berbagai tantangan dalam pengenaan pajak atas aset digital ini, terutama karena sifat transaksi yang anonim dan tingkat literasi pajak yang masih rendah di kalangan pelaku pasar. Untuk itu, pemerintah tengah menyiapkan penyederhanaan pelaporan pajak serta edukasi bagi para wajib pajak agar kepatuhan dapat meningkat tanpa membebani pelaku industri.

Pelaku Industri Dukung Pembaruan Kebijakan

Dukungan atas pembaruan kebijakan pajak aset digital datang dari berbagai kalangan industri. Salah satunya disampaikan oleh CEO Tokocrypto, Calvin Kizana. Ia menyatakan dukungannya terhadap langkah pemerintah yang ingin menyempurnakan aturan perpajakan seiring berpindahnya pengawasan kripto ke OJK.

“Saat ini kripto masih dikenakan PPN sebesar 0,11% dan PPh final 0,1% sesuai PMK No. 68 dan PMK No. 81 Tahun 2024. Namun, jika kripto diperlakukan sebagai produk keuangan, seharusnya tidak dikenakan PPN sebagaimana produk keuangan lainnya. Kami berharap revisi PMK No. 81 bisa mengakomodasi hal ini,” ujar Calvin.

Ia menambahkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kebijakan perpajakan kripto yang masih tergolong moderat jika dibandingkan dengan negara lain. Meski demikian, menurutnya masih ada ruang untuk penyempurnaan agar industri ini bisa tumbuh lebih sehat.

Calvin menyoroti negara seperti Thailand yang membebaskan pajak atas transaksi kripto lokal hingga tahun 2029 sebagai contoh pendekatan yang berpihak pada perkembangan industri. Ia berharap Indonesia juga bisa mengadopsi pendekatan serupa dengan tetap menjaga kepatuhan dan transparansi.

Digitalisasi Sistem dan Kesiapan Infrastruktur Perpajakan

Selain menetapkan kebijakan, pemerintah juga berupaya memperkuat sistem digitalisasi dalam pengawasan pajak. Fokus utama adalah mengintegrasikan transaksi digital, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, ke dalam satu sistem yang saling terhubung dan dapat dipantau secara real-time.

Hal ini penting karena karakteristik aset digital sering kali bersifat lintas negara, sulit dilacak, dan rentan terhadap penyalahgunaan. Oleh karena itu, penguatan sistem teknologi informasi dan kerja sama antar lembaga menjadi bagian integral dari kebijakan yang sedang disiapkan.

Penunjukan lembaga jasa keuangan untuk bullion juga menjadi salah satu inovasi kebijakan. Dengan adanya pengawasan resmi terhadap perdagangan logam mulia, pemerintah dapat memastikan bahwa aktivitas tersebut terdata dengan baik dan berkontribusi pada penerimaan negara.

Harapan Jangka Panjang: Industri Berkembang, Penerimaan Negara Menguat

Dengan reformasi kebijakan perpajakan yang sedang dirancang, pemerintah berharap dapat menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif di sektor aset digital. Selain meningkatkan kepatuhan pajak, kebijakan ini juga bertujuan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan sistem perpajakan digital yang adaptif dan progresif.

Upaya ini juga menjadi bagian dari transformasi ekonomi yang inklusif, di mana aset digital diposisikan sebagai instrumen resmi dan legal dalam sistem keuangan nasional. Pemerintah percaya bahwa dengan kebijakan yang tepat dan kolaboratif, aset seperti kripto dan bullion dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara dalam jangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index