JAKARTA - Pembaruan sistem perpajakan Indonesia kembali diperkuat dengan peluncuran Piagam Wajib Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Langkah ini bukan sekadar reformasi administratif, melainkan tonggak penting menuju hubungan yang lebih berimbang antara negara dan masyarakat sebagai pembayar pajak.
Kegiatan peluncuran dilaksanakan di Jakarta dan dipimpin langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto. Dalam sambutannya, Bimo menyampaikan bahwa Piagam Wajib Pajak merupakan dokumen resmi yang tidak hanya berisi daftar kewajiban perpajakan, tetapi juga menegaskan hak-hak wajib pajak yang kerap luput dari perhatian publik.
“Peluncuran Piagam Wajib Pajak ini bukan sekadar simbol. Ini adalah wujud nyata perubahan cara pandang kami dari sekadar otoritas pemungut pajak menjadi mitra masyarakat dalam membangun negeri,” tegas Bimo dalam sambutannya.
Piagam ini sekaligus mencerminkan pergeseran paradigma, bahwa institusi perpajakan tidak lagi beroperasi secara satu arah. Dalam era transparansi dan keterbukaan, hubungan antara petugas pajak dan masyarakat wajib didasari rasa saling menghormati dan kesetaraan peran.
Delapan Hak Wajib Pajak: Menjamin Perlakuan Adil dan Akses Informasi
Dokumen Piagam Wajib Pajak memuat delapan poin hak wajib pajak, yang mencakup hak-hak fundamental untuk menjaga transparansi, keadilan, dan kenyamanan dalam berinteraksi dengan otoritas pajak.
Pertama, hak atas informasi dan edukasi di bidang perpajakan menjadi dasar agar masyarakat dapat menjalankan kewajiban pajaknya dengan pemahaman yang baik. Tanpa edukasi yang memadai, kepatuhan hanya akan bersifat formal.
Kedua, wajib pajak berhak mendapatkan pelayanan perpajakan sesuai ketentuan hukum tanpa dikenakan pungutan biaya. Hal ini memastikan tidak ada potensi pungli dalam proses pelayanan.
Ketiga, penting pula hak untuk diperlakukan secara adil, setara, dan dihormati saat melaksanakan hak serta kewajiban perpajakan. Keempat, wajib pajak tidak boleh dibebani pajak lebih dari yang terutang, yang menekankan prinsip keadilan fiskal.
Kelima, masyarakat berhak mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa pajak, termasuk opsi administratif guna mencegah konflik yang tidak perlu.
Hak keenam adalah jaminan atas kerahasiaan dan keamanan data wajib pajak. Ini menjadi penting di tengah isu kebocoran data yang kerap muncul di sektor publik.
Ketujuh, wajib pajak diberikan hak untuk diwakili oleh kuasa hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan. Hak terakhir, yaitu hak untuk menyampaikan pengaduan serta melaporkan pelanggaran perpajakan, menjadi saluran bagi masyarakat dalam menjaga akuntabilitas aparatur DJP.
Delapan Kewajiban Wajib Pajak: Komitmen Bersama Bangun Negeri
Selain menekankan hak, piagam ini juga memperjelas delapan kewajiban utama yang melekat pada setiap wajib pajak. Hal ini penting agar hubungan antara warga negara dan negara tetap berjalan dalam kerangka hukum dan etika yang adil.
Kewajiban pertama adalah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap, dan jelas. Ini merupakan fondasi akuntansi fiskal negara.
Kedua, wajib pajak harus bersikap jujur dan transparan dalam memenuhi kewajibannya. Ketiga, sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi etika, sopan santun, serta moralitas menjadi bagian integral dari interaksi perpajakan.
Keempat, kooperatif dalam menyampaikan data dan informasi yang relevan dalam proses pelayanan, pengawasan, hingga penegakan hukum.
Kelima, wajib pajak diminta untuk menggunakan fasilitas perpajakan secara jujur dan tepat guna, guna menghindari penyalahgunaan yang bisa merugikan negara.
Keenam, setiap wajib pajak harus melakukan dan menyimpan pembukuan atau pencatatan sesuai aturan perpajakan. Ini tidak hanya untuk keperluan audit, tapi juga sebagai bentuk disiplin administrasi.
Ketujuh, apabila wajib pajak menunjuk kuasa, maka kewajiban untuk menunjuk kuasa sesuai ketentuan hukum pun ditegaskan. Dan terakhir, wajib pajak dilarang memberikan gratifikasi dalam bentuk apapun kepada pegawai DJP.
Membangun Kepercayaan dan Kolaborasi Jangka Panjang
Melalui Piagam Wajib Pajak ini, DJP ingin menegaskan bahwa sistem perpajakan Indonesia tengah bergerak menuju era keterbukaan, kepercayaan, dan kolaborasi. Bukan hanya sebagai institusi pemungut, DJP berkomitmen menjadi lembaga yang bisa diajak bermitra oleh masyarakat.
“Hubungan yang sehat antara negara dan warga negara, dibangun di atas kesetaraan tanggung jawab dan penghormatan terhadap hak. Piagam ini diharapkan menjadi referensi bersama dalam setiap interaksi perpajakan, baik oleh petugas pajak maupun oleh masyarakat,” ujar Bimo menegaskan.
Hal ini menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang lebih luas, di mana transparansi dan akuntabilitas menjadi nilai inti pelayanan publik, khususnya di bidang fiskal.
DJP mengharapkan piagam ini tidak hanya dibaca, tapi benar-benar dipahami dan diterapkan oleh seluruh lapisan masyarakat serta aparatur pajak. Dengan begitu, kepercayaan publik terhadap sistem pajak akan semakin meningkat, dan partisipasi warga negara dalam pembangunan bisa terus tumbuh secara sehat.
Menuju Sistem Pajak yang Adil dan Progresif
Piagam Wajib Pajak menjadi bentuk konkrit bagaimana pemerintah ingin membangun sistem perpajakan yang berkeadilan dan bertanggung jawab. Dokumen ini bukan sekadar formalitas, tetapi panduan etika dan hukum yang memperkuat relasi antara otoritas dan rakyat dalam sektor pajak.
DJP berharap, dengan adanya piagam ini, masyarakat merasa lebih dihargai sebagai kontributor penting bagi pembangunan nasional. Di sisi lain, otoritas pajak juga dituntut untuk terus meningkatkan integritas dan profesionalisme dalam setiap layanannya.