ENERGI

Bangunan Hijau Jadi Solusi Efisiensi Energi

Bangunan Hijau Jadi Solusi Efisiensi Energi
Bangunan Hijau Jadi Solusi Efisiensi Energi

JAKARTA - Ketika dunia menghadapi tantangan besar dalam mengurangi emisi karbon dan meningkatkan efisiensi energi, pendekatan terhadap desain dan konstruksi bangunan mulai mengalami perubahan besar. Perubahan ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi menyentuh kesadaran kolektif tentang pentingnya membangun lingkungan yang berkelanjutan.

Dalam sebuah seminar, perhatian tertuju pada paparan yang disampaikan oleh Zulfa, yang mengungkapkan peran penting sektor bangunan dalam krisis iklim saat ini. Ia menyampaikan bahwa sektor ini menyumbang sekitar 39% dari total emisi karbon global. Emisi tersebut berasal dari dua hal utama: kegiatan operasional harian seperti penggunaan listrik, dan proses konstruksi serta material bangunan yang memiliki jejak karbon tidak langsung, seperti proses produksi dan transportasi bahan bangunan.

“Kita sering lupa, bahwa bukan hanya listrik yang kita pakai sehari-hari, tapi juga bahan bangunan seperti kaca, beton, dan atap yang semuanya punya jejak karbon besar dalam proses produksinya,” ujarnya, mengajak peserta seminar untuk melihat gambaran besar dari emisi yang dihasilkan oleh sektor konstruksi.

Zulfa menjelaskan bahwa efisiensi energi tidak hanya bisa dicapai melalui teknologi canggih, tetapi juga lewat pendekatan desain yang lebih cermat sejak awal perencanaan. Ia memperkenalkan konsep arsitektur pasif—desain yang mengoptimalkan sumber daya alam seperti cahaya matahari dan aliran udara alami untuk menciptakan kenyamanan dalam ruangan tanpa bergantung pada energi buatan secara berlebihan.

Salah satu pendekatan yang dijelaskan adalah penggunaan ventilasi alami dan pencahayaan siang hari yang optimal. “Orientasi bangunan juga sangat penting. Jika bangunan menghadap arah yang tepat, kita bisa mengurangi kebutuhan AC dan lampu secara signifikan,” tambahnya.

Namun, selain pendekatan desain, teknologi juga memegang peran besar dalam penghematan energi di bangunan modern. Zulfa memaparkan beberapa teknologi terkini yang kini mulai diadopsi dalam pembangunan berkelanjutan.

Pertama, Lighting Automation atau sistem pencahayaan otomatis, yang dapat menyesuaikan nyala lampu berdasarkan keberadaan orang dalam ruangan. Teknologi ini memastikan lampu tidak menyala sia-sia ketika ruangan kosong.

Kedua, Demand Control Ventilation, yaitu sistem ventilasi yang cerdas dan mampu menyesuaikan sirkulasi udara sesuai jumlah orang dalam ruangan. Dengan begitu, sistem ini bisa menjaga kenyamanan udara tanpa boros energi.

Ketiga, Thermal Storage, yakni penyimpanan energi panas yang dikumpulkan pada siang hari untuk digunakan di malam hari. Konsep ini mampu mengurangi beban energi saat puncak permintaan, sehingga lebih efisien dan stabil.

Keempat, Solar Water Heater dan Pre-Cooling System, yang bekerja memanfaatkan energi matahari untuk pemanasan air serta melakukan pendinginan awal sebelum AC dioperasikan. Teknologi ini membantu mengurangi kebutuhan energi pendingin secara drastis.

Dengan menggabungkan seluruh pendekatan tersebut, Zulfa memperkenalkan sebuah konsep besar yang disebut zero net energy building—bangunan yang menghasilkan energi sendiri dalam jumlah yang cukup untuk menutup seluruh kebutuhan energinya. “Kita bisa menciptakan bangunan dengan konsumsi energi yang sangat kecil bahkan bisa ditutup oleh energi yang dihasilkan sendiri,” tegasnya.

Pada sesi tanya jawab, Zulfa juga menyoroti pentingnya pemilihan material yang tepat, khususnya material insulasi bangunan. Ia menjelaskan pentingnya memperhatikan U-value, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar panas yang dapat menembus material. Semakin rendah U-value, semakin baik material dalam menjaga suhu dalam ruangan.

Selain itu, ia mendorong para pelaku industri konstruksi untuk mulai memahami dan menerapkan berbagai standar sertifikasi hijau internasional, seperti LEED dari Amerika Serikat, CASBEE dari Jepang, serta Greenship dari Indonesia. Sertifikasi ini berfungsi sebagai panduan untuk membangun secara efisien dan ramah lingkungan, sekaligus menjadi indikator bahwa bangunan tersebut memenuhi standar global keberlanjutan.

Menutup presentasinya, Zulfa menyampaikan pesan kuat kepada seluruh peserta dari berbagai latar belakang, baik itu mahasiswa, arsitek, insinyur, maupun pembuat kebijakan. Ia menekankan bahwa mewujudkan masa depan yang berkelanjutan tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak, melainkan memerlukan kolaborasi dari semua lini.

“Apa pun peran Anda ke depan arsitek, policy maker, engineer, pemilik gedung semua punya kontribusi dalam mewujudkan masa depan energi yang berkelanjutan,” tuturnya.

Seruan ini menjadi pengingat bahwa membangun masa depan yang lebih hijau bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan yang mendesak. Dunia tidak lagi punya kemewahan untuk mengabaikan jejak karbon dari bangunan yang kita tempati. Setiap keputusan dalam memilih desain, material, dan teknologi akan menentukan apakah kita bisa hidup di lingkungan yang layak bagi generasi mendatang.

Dengan terus mendorong penerapan teknologi efisiensi dan desain yang cermat, serta melibatkan berbagai pihak untuk mengambil peran aktif, bangunan masa depan bukan lagi ancaman bagi lingkungan, melainkan solusi nyata bagi krisis energi dan iklim global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index