PETANI

Petani Ternate Pilih Bertani Organik Berkelanjutan

Petani Ternate Pilih Bertani Organik Berkelanjutan
Petani Ternate Pilih Bertani Organik Berkelanjutan

JAKARTA - Di tengah dominasi pertanian berbasis kimia, sejumlah petani di Kota Ternate, Maluku Utara, memilih jalur berbeda: kembali ke alam. Mereka beralih ke pertanian organik yang lebih ramah lingkungan, meski penuh tantangan. Bagi para petani ini, bertani tanpa pupuk kimia bukan hanya soal hasil panen, tapi juga tentang menjaga kesuburan tanah, kesehatan keluarga, dan ketahanan pangan lokal.

Usai hujan reda sore itu, Nisma dan ibunya, Asia, bergegas menuju kebun kecil mereka di pinggiran Kota Ternate. Lahan yang sebelumnya terbengkalai mereka ubah menjadi kebun sayur yang produktif. Ada sawi, kangkung, cabai, tomat, dan beragam tanaman lainnya tumbuh subur di sana.

Berbekal pupuk organik buatan sendiri dan ketekunan bertani, keduanya mengubah lahan tidur menjadi sumber pangan dan penghasilan. Tidak hanya untuk konsumsi sendiri, tetapi juga untuk dijual.

Untuk pupuk, mereka mengandalkan sampah organik. “Pupuknya dari sisa-sisa tanaman, dicampur tanah, terus dibiarkan sampai jadi kompos. Setelah itu baru bisa untuk perbaiki struktur tanah,” kata Nisma, perempuan berusia 20 tahun, pertengahan Juni lalu.

Menurut Nisma, hasil dari penggunaan pupuk organik memang tidak langsung terlihat, namun manfaatnya mulai terasa seiring waktu. “Berat, tapi yakin pasti bisa,” katanya, yang sudah sejak kecil ikut ibunya bertani. Kini, mereka terus konsisten menggunakan pupuk alami untuk memberikan nutrisi kepada tanah.

Salah satu hasil nyata dari praktik ini adalah tanah yang semula keras karena penggunaan pupuk kimia berlebihan, kini menjadi gembur dan mudah diolah. “Dalam sebulan bisa panen sayuran sampai tiga kali, tergantung cuaca,” ujar Nisma. Untuk kangkung dan sawi, mereka panen dengan sistem cabut. Selain dikonsumsi sendiri, sayuran ini juga dijual ke tetangga maupun pasar. Dari hasil panen, mereka bisa memperoleh penghasilan Rp1 juta hingga Rp3 juta per bulan, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan keluarga.

“Kadang susah kalau harus pacu tanah. Tapi saya senang melakukannya,” ujar Nisma.

Sebagai perempuan muda, pilihannya untuk terjun ke dunia pertanian organik dianggap tidak umum. Banyak rekan sebayanya memilih pekerjaan lain. Namun bagi Nisma, bertani membawa kepuasan tersendiri.

Hal yang sama dirasakan Hasbuna, petani dari desa lain di Ternate. Ia juga menerapkan pertanian organik. Menurutnya, penggunaan pupuk alami memudahkan pengendalian hama. “Justru kalau pakai pestisida terus-menerus, hama jadi kebal. Tapi kalau pupuk alami, alam bantu seimbangkan sendiri,” katanya.

Temuan Hasbuna sejalan dengan laporan Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian, tahun 2019, yang menyebutkan bahwa 66% tanah sawah di Indonesia sudah masuk kategori rendah karbon. Kandungan bahan organik dalam tanah sangat minim, padahal idealnya untuk hasil optimal dibutuhkan sekitar 2,5% kandungan karbon organik.

Dalam laporan yang sama, Ladiyani Retno Widowati dan kolega menegaskan pentingnya penggunaan pupuk organik minimal dua ton per hektar per musim. Pupuk organik tidak hanya bermanfaat bagi tanaman, tetapi juga membantu menghidupkan kembali mikroba dan hewan kecil dalam tanah yang berperan menjaga keseimbangan ekosistem.

Wahyu, petani lain di Ternate, menilai bahwa bertani secara organik memberinya banyak keuntungan. Biaya produksi rendah karena memanfaatkan bahan lokal seperti limbah tanaman dan ikan, sementara produk mudah terjual. Ia menanam kangkung, terong, cabai, dan tomat.

“Produk sehat cepat sekali lakunya,” kata Wahyu, yang memasarkan sayurannya melalui media sosial. Selain itu, ia menciptakan pupuk bio cair dari limbah ikan, khususnya kepala dan tulang ikan dari pasar tradisional. Limbah ini difermentasi dengan molase dan mikroorganisme lokal.

“Inspirasi ini datang dari kebutuhan menekan biaya, sekaligus menangani limbah ikan yang seringkali hanya dibuang,” ungkap Wahyu. Ia mengaku bahwa pupuk tersebut membantu menjaga kesehatan tanaman dan kesuburan tanah. Untuk memperkuat pertanian berkelanjutan, Wahyu juga rutin melakukan rotasi tanaman setiap musim. “Awal-awal tidak mudah. Tapi kalau sudah berjalan keuntungannya berlimpah dan biaya operasional murah,” katanya.

Namun, tak sedikit tantangan yang dihadapi petani organik di Ternate. Menurut Purwono Budhi Rahmadi, Team Leader Inclusion Project Wahana Visi Indonesia (WVI), salah satu hambatan utama dalam pengembangan pertanian sehat adalah rendahnya literasi konsumen terhadap produk organik. “Masih banyak orang belum paham nilai tambah dari produk yang dihasilkan secara ramah lingkungan,” ujarnya.

Melalui pendekatan pembangunan sistem pasar inklusif, WVI mendampingi petani untuk meningkatkan kapasitas produksi dan mengadopsi praktik pertanian alami. Mereka juga membantu menjembatani pasar, termasuk lewat program INCLUSION (increasing the leverage of inclusive markets across Indonesia). Tujuannya memperkuat pemberdayaan petani kecil dan rumah tangga rentan, terutama di wilayah Indonesia Timur.

Meski begitu, tantangan struktural masih membayangi. Dalam laporan penelitian bersama antara Bappelitbangda dan Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate pada 2023, disebutkan sejumlah hambatan besar pertanian di Ternate: dari pengelolaan pascapanen yang lemah, mahalnya sarana produksi, hingga minimnya dukungan pemerintah dalam pemasaran hasil tani.

“Selain itu, difusi hasil riset dari perguruan tinggi dan institusi negara membuat produk berbasis inovasi sulit tumbuh,” tulis laporan itu. Dampaknya, peningkatan daya saing petani dan produktivitas lahan masih stagnan.

Rizal Marsaoly, Sekretaris Daerah Kota Ternate, menilai tren positif penggunaan pupuk organik dalam beberapa tahun terakhir sebagai peluang untuk memperkuat politik pangan lokal. “Kita lihat dengan pemanfaatan pupuk ramah lingkungan ini, produksi meningkat,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa kini saatnya pemerintah mengambil langkah nyata melalui kebijakan yang mendukung pertanian berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index