JAKARTA - Pemerintah Indonesia menempatkan pengembangan energi baru dan terbarukan, khususnya panas bumi, sebagai salah satu pilar utama dalam mencapai kedaulatan energi nasional sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Dalam visi Asta Cita jilid dua yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pemanfaatan energi panas bumi menjadi bagian integral sebagai solusi transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Dengan potensi yang besar dan teknologi yang semakin maju, panas bumi diharapkan tidak hanya menjadi sumber listrik ramah lingkungan, tetapi juga mendorong pemerataan pembangunan dan penciptaan lapangan kerja di daerah.
Indonesia dikenal memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia. Oleh karena itu, pemerintah mendorong percepatan investasi dan kerja sama lintas sektor untuk mengoptimalkan potensi tersebut. Dengan kapasitas terpasang saat ini mencapai 2,8 gigawatt (GW), Indonesia berada di posisi kedua setelah Amerika Serikat yang memiliki kapasitas 3,9 GW. Target pemerintah adalah meningkatkan kapasitas panas bumi menjadi 7,2 GW pada tahun 2030, sebagai bagian dari upaya mencapai bauran energi bersih sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menekankan bahwa pemanfaatan energi panas bumi tidak sebatas untuk pembangkit listrik. Energi ini dapat langsung digunakan untuk mendukung sektor produktif seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan pariwisata berkelanjutan. Hal ini memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi lokal.
- Baca Juga Harga BBM Terbaru Berlaku Seluruh SPBU
Salah satu wilayah yang saat ini dikembangkan sebagai sentra panas bumi adalah Cipanas di Kabupaten Cianjur. Wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi Panas Bumi (WPSPE) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM atas nama Menteri ESDM No. 1/1/PSPB/PMDN/2022. Area yang digunakan untuk eksplorasi sangat terbatas, hanya 0,02 persen dari total area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Lokasi ini juga berada di zona yang sudah lama digunakan masyarakat sebagai lahan perkebunan sayur, sehingga potensi gangguan terhadap lingkungan dapat diminimalkan.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menjelaskan proses kerja energi panas bumi secara detail. Energi panas bumi memanfaatkan energi alami dari dalam perut bumi untuk menghasilkan listrik. Prosesnya dimulai dengan pengeboran sumur hingga kedalaman sekitar 2.500 meter guna mencapai reservoir panas bumi yang mengandung air dan uap bersuhu tinggi. Uap tersebut dialirkan ke turbin untuk menghasilkan listrik, kemudian dikondensasi dan disuntikkan kembali ke dalam bumi dalam siklus tertutup.
Sistem pembangkit ini memiliki keunggulan jejak karbon yang sangat rendah dibandingkan pembangkit listrik konvensional berbahan bakar batu bara atau gas. Selain itu, energi panas bumi tidak menggunakan air tanah dangkal, sehingga tidak berdampak negatif pada vegetasi dan aktivitas pertanian di sekitar lokasi. Hal ini menjadi nilai tambah penting dalam menjaga kelestarian lingkungan sekaligus mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat.
Dengan kapasitas terpasang 2,8 GW saat ini, Indonesia menempati posisi kedua dunia dalam pengembangan energi panas bumi. Pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas hingga 7,2 GW pada tahun 2030, langkah yang sejalan dengan upaya memperbesar kontribusi energi bersih dalam bauran energi nasional.
Fahmy Radhi menyatakan, “Panas bumi bukan sekadar sumber energi, melainkan juga merupakan upaya untuk menjaga bumi tetap cerdas dan berkelanjutan. Jika dimanfaatkan secara optimal, panas bumi dapat menjadi penopang utama ketahanan energi nasional, sejalan dengan program Asta Cita dalam mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan.”
Dari segi lingkungan, energi panas bumi memiliki dampak jauh lebih kecil dibanding pembangkit listrik konvensional. Teknologi yang diterapkan mengedepankan kolaborasi, transparansi, dan kepatuhan terhadap regulasi. Dengan demikian, potensi risiko terhadap struktur tanah, lingkungan sekitar, maupun infrastruktur dapat diminimalisasi. “Teknologi canggih yang digunakan memastikan potensi aktivitas seismik sangat rendah dan bersifat lokal. Getaran dari panas bumi ini tidak ada hubungannya dengan gempa bumi,” jelas Fahmy. Dia menambahkan, “Di negara lain pun, proyek panas bumi tidak menimbulkan kerusakan seperti yang kerap dikhawatirkan.”
Dalam hal penggunaan lahan, proyek panas bumi sangat efisien. Walaupun Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) mencakup area luas, infrastruktur fisik yang dibutuhkan hanya 1 hingga 4 persen dari total wilayah tersebut. Sebagian besar lahan masih dapat digunakan untuk kehutanan, pertanian, dan permukiman. Bahkan beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia, seperti di Kamojang dan Dieng, berhasil terintegrasi dengan kawasan wisata, menunjukkan bahwa pembangunan energi dan pelestarian alam dapat berjalan beriringan.
Pemanfaatan energi panas bumi juga menghadirkan peluang pemerataan pembangunan yang nyata. Dengan lokasi proyek yang tersebar di berbagai daerah, terutama di wilayah yang memiliki potensi besar, pengembangan energi ini sekaligus membuka lapangan kerja baru serta memperkuat ekonomi lokal.
Secara keseluruhan, energi panas bumi muncul sebagai pilihan terbaik untuk menggantikan energi fosil yang semakin memberikan tekanan pada lingkungan dan menghadirkan tantangan perubahan iklim. Dengan dukungan penuh pemerintah dan kemajuan teknologi, pengembangan panas bumi dipastikan menjadi tulang punggung energi terbarukan Indonesia di masa depan.