PETANI

Inovasi Dorong Petani Gurem Raih Kesejahteraan Maksimal

Inovasi Dorong Petani Gurem Raih Kesejahteraan Maksimal
Inovasi Dorong Petani Gurem Raih Kesejahteraan Maksimal

JAKARTA - Jumlah petani gurem, atau petani kelas bawah di Indonesia, menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini menjadi perhatian serius, terutama di tengah upaya pemerintah mendorong swasembada pangan dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Di sisi lain, fakta ini menuntut adanya inovasi dalam sistem pertanian dan upaya konkret untuk meningkatkan kesejahteraan petani di seluruh Indonesia.

Menurut Profesor Bustanul Arifin, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila), data menunjukkan bahwa tahun 2013 petani gurem mencapai 55 persen. Sementara itu, pada 2025, persentasenya meningkat menjadi 60 persen. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bertajuk “Bagaimana Kondisi, Pencapaian dan Tantangan Sosial-Ekonomi Indonesia Setelah 80 Tahun Indonesia Merdeka” yang digelar Forum Insan Cita secara virtual, Senin malam, 18 Agustus 2025.

“Tahun 2013 petani gurem itu 55 persen. Hari ini 60 persen. Jadi di satu sisi kita butuh inovasi, di sisi lain persoalan ini petani makin gurem, makin miskin juga ada,” kata Profesor Bustanul Arifin. Pernyataan ini menekankan bahwa meskipun berbagai program pertanian telah dijalankan, sebagian besar petani masih menghadapi keterbatasan ekonomi dan akses terhadap teknologi pertanian modern.

Profesor Bustanul menambahkan bahwa tantangan Indonesia di bidang pangan saat ini cukup besar. Ia menekankan bahwa pemerintah harus menata ulang sistem pertanian dan menciptakan inovasi agar Indonesia mampu mencapai swasembada pangan sekaligus menjadi eksportir pangan terbesar di dunia.

“Jadi memang tantangan tahun 80 tahun ini luar biasa. Ampun deh kalau mau dibilang ampun-ampun. Nah kalau bapak mau menganalisis mengenai ketimpangan, udah, ini sudah lebih dari cukup,” tegasnya. Pernyataan ini menyoroti kesenjangan yang terjadi di sektor pertanian, di mana sebagian besar petani masih berada di level gurem, sementara sebagian kecil lainnya sudah menikmati akses teknologi dan pasar yang lebih baik.

Selain itu, inovasi ekonomi pangan perlu dilakukan tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga dari sisi distribusi dan manajemen rantai pasok. Profesor Bustanul menekankan bahwa sistem dan teknik pertanian harus diperbarui agar lebih berkelanjutan. Hal ini meliputi perbaikan teknik budidaya, pengelolaan lahan, serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi para petani.

“Survei pertanian terintegrasi di BPS, 66 persen pertanian kita tidak berkelanjutan. Produktivitas ini tidak berkelanjutan, jadi ini dihitung untuk tujuan SDGs ya. Kalau yang ketahanan, 47 persen tidak berkelanjutan. Menurut saya this is serious,” tambahnya. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas lahan pertanian masih menghadapi risiko penurunan produktivitas dan degradasi lingkungan jika tidak segera diperbaiki melalui kebijakan yang tepat dan implementasi teknologi modern.

Selain tantangan teknis, masalah kesejahteraan petani juga menjadi perhatian utama. Petani gurem sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap kredit, pasar, dan informasi harga. Hal ini membuat pendapatan mereka tidak stabil, sehingga sulit untuk meningkatkan taraf hidup dan berinvestasi dalam teknologi pertanian yang lebih maju.

“Di satu sisi, inovasi perlu dilakukan, tetapi di sisi lain, persoalan ini petani makin gurem, makin miskin juga ada,” jelas Profesor Bustanul. Pernyataan ini menegaskan bahwa strategi pertanian nasional tidak hanya soal peningkatan produksi, tetapi juga harus memperhatikan distribusi kesejahteraan bagi seluruh petani.

Dalam rangka memperbaiki kondisi tersebut, pemerintah dan berbagai institusi pendidikan telah melakukan sejumlah program pendampingan. Misalnya, melalui pelatihan digital marketing, pengenalan teknik pertanian modern, serta penyediaan akses kredit yang lebih mudah. Kolaborasi ini diharapkan dapat membantu petani meningkatkan efisiensi dan produktivitas, sekaligus menambah nilai tambah dari hasil pertanian mereka.

Namun, efektivitas program ini juga tergantung pada partisipasi aktif petani dan penguatan kelembagaan lokal. Profesor Bustanul menekankan bahwa tanpa sinergi antara pemerintah, lembaga penelitian, dan petani itu sendiri, upaya peningkatan kesejahteraan petani bisa tertunda atau bahkan gagal.

“Jadi memang tantangan ini luar biasa, apalagi kita bicara tentang ketahanan pangan dan keinginan menjadi eksportir pangan global. Semua ini membutuhkan kerja keras dan inovasi nyata,” tuturnya. Pernyataan ini menegaskan urgensi bagi semua pihak untuk bergerak cepat dan efektif dalam menghadapi persoalan sektor pertanian yang terus berkembang.

Secara keseluruhan, meningkatnya jumlah petani gurem menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Hal ini mencakup perbaikan teknologi pertanian, penyediaan sarana produksi yang memadai, peningkatan akses pasar, serta perlindungan sosial bagi petani kelas bawah. Dengan demikian, petani tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang.

Dengan perhatian serius terhadap inovasi, sistem pertanian yang berkelanjutan, dan kesejahteraan petani, diharapkan tren petani gurem yang terus meningkat dapat dibalik. Indonesia dapat mewujudkan pertanian yang modern, produktif, dan berkeadilan, sekaligus memperkuat posisi negara dalam persaingan global di sektor pangan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index