Kuliner

Tutut Gurih Pedas Menggugah Selera Pecinta Kuliner

Tutut Gurih Pedas Menggugah Selera Pecinta Kuliner
Tutut Gurih Pedas Menggugah Selera Pecinta Kuliner

JAKARTA - Bicara soal kuliner tradisional Sunda, ada satu sajian unik yang kini semakin menarik perhatian banyak orang tutut, atau keong sawah. Makanan yang dulunya identik dengan konsumsi sederhana di desa, sekarang justru digemari lintas generasi, dari anak muda hingga orang tua. Keistimewaan rasa gurih serta bumbu khasnya membuat tutut tidak hanya hadir sebagai camilan biasa, melainkan simbol kekayaan kuliner yang sarat nostalgia.

Di balik popularitasnya, tutut kini semakin sulit dijumpai. Kondisi tersebut justru memunculkan sensasi tersendiri bagi para pencinta makanan tradisional. Mereka merasa beruntung ketika bisa menemukan pedagang tutut yang masih setia menjajakan kudapan ini di kota besar seperti Bandung.

Cicih, seorang penjual tutut di kawasan Cikutra, Bandung, mengakui bahwa tantangan utama saat ini adalah ketersediaan bahan baku.
“Tutut agak susah mendapatkannya, karena itu sangat jarang yang berjualan. Tapi justru karena sulit dicari, banyak orang yang senang kalau ketemu penjual tutut,” ujarnya.

Menurut Cicih, daya tarik utama tutut terletak pada cita rasa gurihnya. Saat dimasak dengan bumbu rempah khas Sunda, seperti kunyit, cabai, atau kuah pedas, rasa tutut semakin kaya dan nikmat ketika disantap selagi hangat.

Tradisi dan cara menyantap tutut

Menikmati tutut bukan hanya soal rasa, tetapi juga pengalaman. Tidak semua orang terbiasa pada awalnya, karena cara menyantapnya bisa dibilang unik.
“Kalau makan tutut, biasanya disedot langsung dari cangkangnya. Ada juga yang menggunakan alat bantu seperti lidi atau garpu kecil untuk mengeluarkan dagingnya,” jelas Cicih.

Bagi sebagian masyarakat Sunda, menyantap tutut tidak hanya sekadar mengisi perut. Ada rasa nostalgia yang menyertainya, terutama bagi mereka yang pernah merasakan masa kecil di pedesaan. Tutut kerap dikaitkan dengan kenangan mencari keong di sawah atau selokan selepas hujan, lalu dimasak bersama keluarga.

Kenangan inilah yang membuat tutut tetap memiliki tempat di hati para penggemarnya. Bagi generasi muda sekalipun, mencoba tutut menjadi pengalaman baru yang seru, sekaligus cara untuk mengenal kembali tradisi kuliner lokal yang semakin jarang ditemui.

Semakin langka, semakin dicari

Keberadaan penjual tutut di perkotaan kian terbatas, terutama karena ketersediaan bahan bakunya tidak sebanyak dulu. Sawah-sawah yang dahulu menjadi sumber tutut kini semakin berkurang akibat pembangunan. Namun, justru karena kelangkaan itulah tutut semakin dicari.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana makanan tradisional bisa tetap eksis di tengah gempuran kuliner modern. Meski banyak pilihan makanan cepat saji dan tren kuliner baru bermunculan, tutut tetap punya penggemar setia yang tidak tergantikan.

Di Bandung, tutut sering dijajakan di kawasan tertentu dan menjadi buruan pelanggan setia. Bahkan, tidak jarang pembeli rela antre hanya untuk mendapatkan porsi tutut hangat dengan bumbu pedas yang khas.

Kuliner yang patut dilestarikan

Bagi masyarakat Sunda, tutut lebih dari sekadar makanan. Ia merupakan bagian dari identitas budaya dan kuliner yang sebaiknya dilestarikan. Keberadaan pedagang seperti Cicih menjadi bukti bahwa masih ada yang berusaha menjaga tradisi ini tetap hidup.

Namun, tanpa dukungan masyarakat, kuliner seperti tutut bisa semakin sulit bertahan. Mengonsumsi tutut bukan hanya soal menikmati cita rasanya, tetapi juga mendukung pelestarian warisan kuliner yang sarat makna.

Penting pula mengenalkan makanan ini kepada generasi muda, agar mereka tidak hanya terbiasa dengan sajian modern, tetapi juga memahami dan menghargai kekayaan kuliner tradisional. Melalui cara ini, tutut bisa tetap lestari meski tantangan zaman terus berubah.

Simbol sederhana dengan makna mendalam

Meskipun sederhana, tutut menyimpan makna mendalam. Dari cara menikmatinya yang unik, hingga nilai nostalgia yang melekat, semuanya menjadikan makanan ini berbeda dari yang lain. Tutut adalah simbol bagaimana sebuah kuliner bisa membawa kenangan, menyatukan keluarga, sekaligus memperkuat identitas budaya.

Cita rasanya yang gurih, bumbu yang kaya, serta pengalaman menyantapnya yang khas membuat tutut tak pernah benar-benar ditinggalkan. Justru, semakin sulit didapatkan, semakin banyak orang yang merindukan kehadirannya.

Di tengah derasnya arus modernisasi, tutut menjadi pengingat bahwa kuliner tradisional tetap memiliki tempat istimewa. Dari nostalgia masa kecil hingga pengalaman baru bagi generasi muda, tutut menawarkan lebih dari sekadar rasa. Ia adalah warisan kuliner Sunda yang patut dijaga keberadaannya.

Maka, setiap kali kita berkesempatan menikmati tutut hangat dengan bumbu khasnya, kita sebenarnya juga sedang merawat sebuah tradisi. Tradisi yang sederhana, tetapi kaya akan cerita dan makna.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index