JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selama ini, kekayaan hayati dimanfaatkan terutama untuk pangan, obat-obatan, dan kosmetik. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa sumber daya alam juga bisa dimanfaatkan untuk industri keteknikan, khususnya sebagai bahan penghambat korosi ramah lingkungan.
Korosi adalah musuh tersembunyi yang bisa melemahkan material logam, merusak infrastruktur, dan mengancam keselamatan manusia. Dari jembatan, pipa minyak, kapal, hingga gedung bertingkat, semua berpotensi mengalami kerusakan jika tidak dilindungi dari korosi.
Fokus perhatian ini menjadi inti orasi ilmiah pengukuhan Gadang Priyotomo, peneliti ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sebagai Profesor Riset bidang Teknik Pencegahan Korosi. Orasi dilaksanakan di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, BRIN Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025.
Orasi Ilmiah dan Pendekatan Baru Mitigasi Korosi
Dalam orasinya yang berjudul “Teknologi Mitigasi Korosi Ramah Lingkungan untuk Konservasi Struktur Rawan Korosi”, Gadang menekankan perlunya pendekatan baru. Pendekatan ini bukan sekadar teknologi mahal dan jangka pendek, melainkan solusi ramah lingkungan yang terintegrasi dan sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Riset ini membuka peluang peningkatan nilai tambah serta diversifikasi produk tanaman, yang tidak hanya bermanfaat di bidang medis, pangan, dan kosmetik, tetapi juga di bidang keteknikan,” ungkap Gadang Priyotomo, yang meraih gelar Doktor Teknik dari Osaka Prefecture University, Jepang.
Korosi: Ancaman Serius untuk Infrastruktur
Secara ilmiah, korosi adalah proses logam kembali ke bentuk stabilnya, misalnya menjadi oksida. Namun, proses ini membawa konsekuensi serius, termasuk keretakan jembatan, kebocoran pipa minyak, hingga runtuhnya gedung.
“Korosi pada struktur logam dapat menyebabkan bencana lokal maupun regional, termasuk potensi kehilangan jiwa manusia,” tegas Gadang. Ia mencontohkan runtuhnya gedung di Slipi, Jakarta, pada 2020 akibat korosi pada baja tulangan beton bukti nyata bahaya korosi.
Dari Metode Konvensional ke Teknologi Hayati
Selama ini industri menggunakan berbagai metode menahan korosi: material tahan karat, cat khusus, proteksi katodik, dan inhibitor sintetis. Sayangnya, metode ini mahal dan berisiko mencemari lingkungan. Misalnya, cat antifouling kapal mengandung Cu₂O (tembaga oksida) atau senyawa timah yang dapat mencemari laut.
Gadang menawarkan paradigma baru: mitigasi korosi berbasis hayati. Salah satu fokusnya adalah ubi ungu, kaya antosianin, senyawa antioksidan yang dalam bidang medis melawan radikal bebas. Mekanisme ini diadaptasi untuk menghambat korosi melalui proses chelating dengan logam.
“Zat antosianin dalam ubi ungu terbukti membentuk senyawa kompleks dengan logam, sehingga berpotensi digunakan sebagai inhibitor alami dalam industri minyak dan gas bumi,” jelas Gadang, yang juga alumnus Teknik Metalurgi Universitas Indonesia.
Limbah Pertanian sebagai Solusi Ekologis
Penelitian Gadang juga memanfaatkan limbah pertanian. Contohnya: kulit buah kelengkeng mampu menghambat korosi hingga 93% pada 500 ppm; kulit buah naga mengurangi kerusakan korosi 87,73%; daun talas menekan laju korosi 72% pada 4000 ppm; daun tembakau 80% pada 60 ppm; daun bawang memberikan perlindungan di atas 90%; dan daun teh putih efektif mengurangi kerusakan hingga 96% pada media asam klorida.
Senyawa organik seperti polifenol, terpen, asam karboksilat, dan alkaloid membentuk lapisan pelindung logam melalui adsorpsi, sehingga laju korosi menurun signifikan.
Potensi Laut dan Antifouling Alami
Selain tumbuhan darat, laut juga menjadi sumber inovasi. Ekstrak alga dan mikroorganisme laut dapat menjadi antifouling alami, pengganti cat berbasis biosida sintetis.
Indonesia, dengan lebih dari 17 ribu pulau, menghadapi kondisi maritim sangat korosif. Infrastruktur pelabuhan, dermaga, kapal, dan instalasi lepas pantai membutuhkan perlindungan yang efektif namun ramah lingkungan. Dengan riset lintas disiplin, biaya perawatan bisa ditekan sekaligus menjaga ekosistem laut.
Inovasi Multidisiplin dan Tren Global
Riset korosi menuntut kolaborasi antara teknik material, kimia, biologi, dan ilmu lingkungan. Ahli material meneliti sifat pelapis, ahli kimia mengkaji reaksi elektrokimia, dan ahli biologi mengekstrak senyawa aktif.
“Masa depan riset korosi ada pada inovasi multidisiplin. Kita tidak bisa hanya mengandalkan baja kuat atau cat tebal. Korosi harus dijawab dengan kombinasi pengetahuan, dari molekul hingga infrastruktur skala besar,” jelas Gadang, Ketua Kelompok Riset Korosi dan Teknologi Mitigasi BRIN.
Pendekatan ini sejalan dengan tren internasional menuju teknologi hijau, netral karbon, dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia berpotensi menjadi pelopor mitigasi korosi berbasis biodiversitas tropis.
Mitigasi Korosi dan Pembangunan Berkelanjutan
Mitigasi korosi penting karena infrastruktur adalah fondasi ekonomi. Kerusakan akibat korosi meningkatkan biaya perbaikan dan limbah material. Dengan teknologi ramah lingkungan, umur infrastruktur bisa diperpanjang, biaya ditekan, limbah diminimalkan, dan jejak karbon berkurang.
Prinsip ini sejalan ekonomi sirkular: memaksimalkan pemakaian material dan meminimalkan limbah. Teknologi berbasis hayati melindungi infrastruktur tanpa merusak ekosistem laut atau tanah.
Peran BRIN dan Hilirisasi Riset
Gadang menekankan integrasi riset ke kebijakan dan praktik industri nasional. BRIN memfasilitasi kolaborasi antara peneliti, industri, pemerintah, dan universitas untuk mempercepat hilirisasi hasil penelitian.
“Masa depan mitigasi korosi tidak hanya pada penemuan zat aktif, tetapi juga integrasi ke cat komersial, sistem pelapisan, dan teknologi perlindungan infrastruktur,” tegasnya. Orasi ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan harus menjawab tantangan nyata bangsa dan menjaga warisan lingkungan bagi generasi mendatang.