JAKARTA - Instruksi Presiden Prabowo Subianto mengenai efisiensi anggaran dalam APBN dan APBD tahun 2025 menjadi topik hangat di kalangan pengamat energi, khususnya terkait dampaknya pada target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) di Jawa Tengah. Dengan target ambisius mencapai 21,32 persen, ada kekhawatiran bahwa efisiensi anggaran dapat menghambat upaya transisi energi di provinsi ini. Hal ini disampaikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang menyoroti bagaimana refocusing anggaran kerap menjadikan proyek energi terbarukan sebagai salah satu korbannya.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa langkah penghematan, termasuk pemotongan dana transfer pusat ke daerah, berpotensi mengganggu implementasi target EBT. "Tentunya dengan adanya pemotongan anggaran termasuk dana transfer (pusat) ke daerah pasti akan ada dampaknya juga. Jadi, anggaran yang ada harus dioptimalkan," ujarnya.
Fabby menambahkan bahwa beban fiskal Indonesia semakin berat, dengan meningkatnya jumlah warga miskin pada 2024 dan utang negara yang diambil selama pandemi Covid-19 segera jatuh tempo. "Program penurunan kemiskinan, ketahanan pangan, serta yang sering kali kita lupa, beban utang itu besar sekali. Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi itu menimbulkan beban utang yang cukup besar, dan terutama saat Covid-19 2021, sebagian besar dari utang-utang itu sudah jatuh tempo," jelasnya.
Di tengah tantangan ini, Fabby mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) untuk lebih inovatif dalam mendorong partisipasi masyarakat dan swasta. "Saya harap pemerintah bisa lebih inovatif. Misalnya, koordinasi tidak perlu dilakukan dalam pertemuan besar, bisa dilakukan secara online. Lalu dengan sumber daya yang ada, bisa mendorong partisipasi masyarakat dan swasta," imbaunya.
Berkonsentrasi pada sektor industri, Jawa Tengah memiliki potensi besar dalam pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Sayangnya, regulasi yang membatasi pemasangan PLTS Atap oleh PLN maksimal 15 persen dari total kebutuhan listrik menjadi penghalang potensial selama beberapa tahun terakhir. Namun, perbaikan regulasi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM nomor 2 Tahun 2024 telah menggantikan sistem net metering dengan sistem kuota yang memungkinkan alokasi lebih dari 900 Megawatt untuk PLTS Atap di seluruh Indonesia.
Menanggapi peluang ini, Fabby Tumiwa berharap agar pelaku industri dapat kembali berpartisipasi aktif dalam pemakaian PLTS Atap demi mendorong pencapaian target bauran EBT. Sementara itu, Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah, Boedyo Dharmawan, menyatakan tantangan besar terkait target 21,32 persen pada 2025. "Tahun kemarin, 2024 kita target di angka 18,4 persen dan capaiannya 18,55 persen. Jadi memang dari angka 18,55 untuk mengejar target 2025 sebesar 21,32 agak berat," ungkap Boedyo melalui sambungan telepon.
Boedyo juga sependapat dengan pentingnya mendorong sektor industri dalam peningkatan bauran EBT melalui pemanfaatan PLTS Atap. "Dengan adanya regulasi baru PLN yang mempermudah pemasangan PLTS Atap, kami punya program untuk mengidentifikasi desa-desa di Jateng yang sudah mulai memanfaatkan energi, yakni desa mandiri energi yang terus meningkat setiap tahun," tuturnya.
Menutup pernyataannya, Boedyo mengungkapkan optimisme terhadap kemajuan program kendaraan listrik di Jawa Tengah. "Kampanye pengenalan terhadap program kendaraan listrik menunjukkan hasil positif. Saat ini sudah ada kendaraan listrik roda empat sampai akhir tahun 2024 sebanyak 1.326 unit, sementara roda dua mencapai 10.086 unit," tandasnya.
Situasi ini menuntut sinergi dan inovasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dengan memanfaatkan regulasi baru dan mengoptimalkan sumber daya yang ada, Jawa Tengah diharapkan dapat mencapai target ambisius dalam kontribusi energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada energi konvensional, serta mendorong pembangunan berkelanjutan di tengah tantangan efisiensi anggaran.