Minyak

Harga Minyak Mentah Turun Drastis Akibat Tekanan dari Kebijakan Trump

Harga Minyak Mentah Turun Drastis Akibat Tekanan dari Kebijakan Trump
Harga Minyak Mentah Turun Drastis Akibat Tekanan dari Kebijakan Trump

JAKARTA - Harga minyak mentah global mengalami penurunan signifikan setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menegaskan kembali komitmennya untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Pernyataan kontroversial ini membikin keresahan di kalangan pedagang minyak setelah Amerika Serikat melaporkan peningkatan stok minyak mentah yang jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya.

Harga minyak mentah Brent mengalami penyusutan sebesar 32 sen atau sekitar 0,4%, sehingga mencapai posisi USD 74,29 per barel. Di sisi lain, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menurun sebanyak 42 sen atau sekitar 0,6%, berada di kisaran USD 70,61 per barel. Fluktuasi harga ini menyusul pernyataan Trump pada hari Kamis yang menyatakan bahwa produksi minyak AS akan meningkat drastis untuk menurunkan harga komoditas tersebut, menegaskan bahwa Amerika akan memproduksi lebih banyak minyak dibandingkan sebelumnya.

Namun, penurunan harga minyak bukan kejadian sesaat. Dalam periode sejak 15 Januari hingga pernyataan terbaru dari Trump, harga minyak sudah menyusut sekitar 10%. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi penurunan ini adalah langkah cepat Amerika Serikat dalam menaikkan tarif impor terhadap beberapa mitra dagang utama mereka.

Di saat bersamaan, harga minyak sempat mengalami lonjakan singkat setelah Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi baru terhadap sejumlah individu dan entitas di berbagai yurisdiksi. Sanksi ini dikenakan atas dasar keterlibatan mereka dalam memfasilitasi pengiriman jutaan barel minyak mentah Iran ke Tiongkok.

Langkah tegas ini merupakan bagian dari strategi lebih besar Trump untuk menghentikan ekspor minyak Iran guna menekan negara tersebut agar tidak mengembangkan senjata nuklir. "Pemberitahuan sudah keluar - jika Anda adalah perusahaan penyuling atau pengirim yang memindahkan minyak Iran, bagian mana pun darinya, Anda berisiko dihajar oleh Departemen Keuangan AS," terang analis dari Price Futures Group, Phil Flynn. Ia menambahkan, "Berurusan dengan minyak Iran akan seperti Superman yang berurusan dengan Kryptonite."

Dalam ambisi lainnya, Trump menginginkan harga minyak di bawah USD 60 per barel. Keinginan ini disambut lebih lanjut dengan permintaannya kepada negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC+ untuk menurunkan harga, khususnya di awal masa jabatannya sebagai presiden. Langkah ini diambil demi memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri Amerika Serikat.

Sementara itu, Menteri Ekonomi Arab Saudi, Faisal al-Ibrahim, menyatakan bahwa kerajaan dan OPEC+ berkomitmen untuk menjaga stabilitas harga minyak dalam jangka panjang. "Posisi kerajaan, posisi OPEC, adalah tentang stabilitas pasar jangka panjang untuk memastikan ada cukup pasokan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat," tegas Faisal dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos.

Pakar ekonomi dan energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Sakyati, menilai bahwa Amerika Serikat telah meningkatkan produksi minyak dari 13,2 juta barel per hari (bpd) di tahun 2024 menjadi 13,5 juta bpd pada tahun 2025. "Artinya AS akan terus menurunkan harga minyak sampai ke titik di bawah USD 70 barel," ucap Yayan kepada Liputan6.com. Ia kemudian melanjutkan, “Trump tidak sabar ingin menurunkan harga minyak hingga USD 70 pada tahun 2025, dengan meningkatkan produksi minyak agar harga minyak segera turun.”

Posisi Trump yang menekan harga minyak ini bertujuan untuk menurunkan biaya transportasi dan berkontribusi terhadap penurunan inflasi melalui Global Value Chain. Meskipun demikian, Yayan mempertanyakan sejauh mana negara-negara OPEC+ mau mengikuti keinginan Trump. "Tapi apakah negara OPEC mau, ini menjadi lobby politik Trump dengan negara-negara OPEC. Seberapa besar dampaknya? Saya kira relatif besar dengan harga minyak mentah hingga ditekan hingga di kisaran USD 60."

Pergerakan harga minyak mentah ini masih menjadi fokus perhatian dunia. Situasi ini bukan hanya mencerminkan ketegangan politik dan ekonomi, tetapi juga bagaimana dinamika geopolitik antara superpower seperti AS dengan negara-negara produsen minyak besar seperti Iran dan anggota OPEC lainnya. Satu hal yang pasti, komoditas minyak akan terus menjadi arena perdebatan dan penentu kebijakan ekonomi global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index