JAKARTA - Dalam lanskap ekonomi global yang bergejolak, kebijakan tarif perdagangan yang diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menimbulkan kekhawatiran yang nyata di kalangan investor dunia. Berita utama dari Amerika Serikat pekan lalu menyoroti dampak dari tarif dagang terhadap inflasi dan anggaran federal AS, menciptakan suasana ketidakpastian yang menggelisahkan investor global. Tingkat imbal hasil surat berharga AS yang tetap tinggi secara historis semakin memperburuk situasi ini.
Sementara kebijakan suku bunga bank sentral AS belum menunjukkan sinyal untuk perubahan signifikan, pemerintahan Trump berusaha untuk menurunkan imbal hasil tersebut. Upaya ini bukan melalui kebijakan moneter melainkan melalui strategi perdagangan yang kontroversial. Baru-baru ini, keputusan untuk menunda penerapan tarif dagang yang semula dijadwalkan mulai 4 Februari 2025 hingga 30 hari ke depan, seiring dengan negosiasi dengan Kanada dan Meksiko, semakin memanaskan situasi. Penundaan ini dilakukan sebagai bagian dari komitmen Kanada dan Meksiko untuk mendukung prioritas AS, termasuk isu imigrasi ilegal dan pengetatan kontrol terhadap perdagangan obat ilegal fentanil yang sering kali masuk ke AS dari kedua negara tersebut.
Seorang analis dari Ashmore Asset Management Indonesia menjelaskan, "Selain itu, tarif akan tetap menjadi salah satu alat negosiasi bagi AS untuk memperjuangkan tujuan nasional mereka.” Pernyataan ini menegaskan bahwa kebijakan tarif tidak hanya berdampak pada perdagangan internasional, tetapi juga berfungsi sebagai alat strategis dalam mencapai tujuan kebijakan domestik AS.
Berdasarkan estimasi, pada tahun 2024, AS diperkirakan mengimpor barang senilai USD 600 miliar dari Kanada, USD 400 miliar dari Meksiko, dan USD 500 miliar dari China. Jika tarif diterapkan tanpa negosiasi lebih lanjut, pendapatan tarif dari ketiga mitra dagang ini bisa mencapai USD 300 miliar. Angka ini mencakup USD 150 miliar dari Kanada, USD 100 miliar dari Meksiko, dan USD 50 miliar dari China. Namun, asumsi ini bergantung pada sejumlah faktor, termasuk harga barang impor yang lebih tinggi tidak mengurangi volume impornya, serta kepatuhan semua mitra dagang terhadap kebijakan tarif tersebut.
Kekhawatiran investor global terkait peningkatan inflasi akibat tarif ini telah mendorong pelarian ke aset safe haven, seperti emas, yang kini harganya mencapai rekor tertinggi sepanjang masa. Selain itu, imbal hasil obligasi AS 10 tahun masih berada di angka 4,43 persen, jauh di atas rata-rata sejarah sebesar 2,5 persen. Hal ini menunjukkan perubahan signifikan dalam perilaku investor yang mencari keamanan di tengah ketidakpastian pasar.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengusulkan rencana 3-3-3 untuk mengatasi defisit fiskal, yang saat ini mencapai 6,4 persen dari produk domestik bruto (PDB), dengan target menurunkannya menjadi 3 persen. "Ketika imbal hasil turun, tekanan ke atas pada imbal hasil obligasi global akan berkurang," katanya. Hal ini menunjukkan rencana strategis pemerintah AS untuk mengurangi tekanan fiskal dan menstabilkan pasar keuangan.
Di tengah ketidakpastian global ini, pasar dalam negeri Indonesia menunjukkan dinamika yang menarik. Meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan, sejumlah saham blue chip justru mencatatkan pertumbuhan. Fenomena ini mencerminkan pergeseran minat investor yang kini lebih cenderung mengincar saham-saham dengan fundamental kuat. Ini membuka peluang investasi bagi mereka yang berani mengambil risiko di saat pasar sedang melemah.
"Melihat lima tahun terakhir, telah terjadi perbedaan valuasi yang semakin besar antara indeks saham utama Indonesia, dan ini menghadirkan peluang besar untuk berinvestasi pada perusahaan yang fundamental kuat karena mereka diperdagangkan pada valuasi yang secara historis murah,” menurut pernyataan dari seorang analis. Ini menjadi waktu yang tepat bagi investor untuk mengambil keputusan strategis dengan memanfaatkan volatilitas pasar saat ini.
Secara keseluruhan, meskipun ketidakpastian global meningkat, terutama terkait tarif dagang AS, kondisi ini juga menciptakan peluang investasi yang menarik. Penting bagi investor untuk tetap waspada dan memanfaatkan diversifikasi aset, baik di pasar saham maupun obligasi, guna memperoleh hasil maksimal dari kondisi pasar yang fluktuatif.