JAKARTA - Pemerintah Indonesia dinilai perlu mendorong diversifikasi energi sebagai langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan energi masyarakat dengan menjaga keterjangkauan harga. Inisiatif ini semakin relevan dalam konteks gejolak harga energi global dan kebutuhan domestik yang terus meningkat.
Keberhasilan Sektor Energi di Tahun 2024
Ketua Dewan Pembina Pimpinan Pusat Kesatria Muda Respublika (PP KMR), Iwan Bento Wijaya, mengapresiasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang telah merinci capaian sektor energi di Indonesia hingga tahun 2024. Dalam laporan resmi pada 3 Februari 2025, Bahlil menyebutkan keberhasilan dalam berbagai sektor termasuk ketenagalistrikan, implementasi energi baru terbarukan (EBT), program biodiesel, lifting minyak dan gas, serta pencapaian dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Meski demikian, Iwan mengungkapkan adanya kendala akses energi bagi masyarakat dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), khususnya terkait gas elpiji 3 kilogram (kg). "Kebijakan pengendalian subsidi yang dimulai sejak 1 Februari 2025 mengakibatkan larangan bagi pengecer untuk menjual langsung ke masyarakat, yang berdampak pada akses yang terhambat," ujarnya pada Selasa, 11 Februari 2025.
Respons Pemerintah Terhadap Tantangan Distribusi LPG
Menyikapi situasi ini, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah pro-rakyat dengan menunda pemberlakuan kebijakan penjualan LPG 3 kg terbatas pada sub-pangkalan, bukan lagi di pengecer. “Presiden dengan bijak menunda kebijakan tersebut, memastikan masyarakat tetap dapat mengakses LPG melalui pengecer hingga sistem sub-pangkalan sepenuhnya siap," tambah Iwan.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pendataan dan sosialisasi untuk menjadikan pengecer sebagai sub-pangkalan, dilakukan secara berkelanjutan. "Pendataan granular hingga ke tingkat RT (rukun tetangga) diharapkan dapat mengoptimalkan kontrol distribusi energi dan mempercepat diversifikasi energi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat," jelas Iwan.
Tekad Diversifikasi untuk Menjaga Impor
Kementerian ESDM berkomitmen menekan impor energi, terutama minyak dan gas, hingga tahun 2045. Ini dilakukan dengan menggenjot pembangunan jaringan gas (Jargas) dan hilirisasi Batubara menjadi Dimethyl Ether (DME). "Diversifikasi energi menjadi kunci dalam mengurangi ketergantungan impor, menghemat subsidi LPG, dan meningkatkan devisa negara," kata Iwan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor gas Indonesia mencapai 6.777,1 ribu ton pada 2022 dan meningkat menjadi 6.934,7 ribu ton pada 2023. Dengan kebutuhan LPG nasional mencapai 8,05 juta ton sementara produksi dalam negeri hanya 1,98 juta ton, Indonesia harus mencari solusi lain, seperti yang diungkapkan Iwan, “Kebijakan diversifikasi energi menjadi krusial, termasuk percepatan DME dan penyaluran kompor listrik serta kompor gas alam.”
Hilirisasi Batubara: Potensi Kemandirian Energi
Program hilirisasi Batubara menjadi DME dianggap sebagai langkah strategis untuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi. "Indonesia, sebagai produsen batubara terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam mengembangkan program ini, mendukung target kemandirian energi," Iwan menekankan.
Diversifikasi energi tidak hanya memberikan solusi atas keterbatasan sumber daya tetapi juga mendukung pengurangan emisi GRK melalui adopsi teknologi energi bersih. Dengan demikian, pemerintah Indonesia diharapkan terus mendorong dan memfasilitasi pengembangan energi alternatif yang berkelanjutan dalam rangka mencapai keterjangkauan harga dan kemandirian energi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat langsung dari kebijakan energi yang inklusif dan efisien, sejalan dengan visi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan.