JAKARTA - Pemerintah Kabupaten Natuna kini tengah bergulat dengan tantangan besar dalam upayanya untuk mengimplementasikan program konversi energi dari minyak tanah ke gas LPG bersubsidi. Program yang sebenarnya dirancang untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak ini, terhambat oleh berbagai masukan dari masyarakat setempat yang masih lebih memilih menggunakan minyak tanah.
Bahkan, hingga pertengahan tahun 2015, suara masyarakat Natuna lebih condong pada harapan untuk tetap menggunakan minyak tanah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal ini terungkap dalam acara "Hallo Natuna (Opini Publik)" yang diselenggarakan Rabu, 19 Februari 2015, dengan topik diskusi yang berfokus pada sulitnya transisi dari minyak tanah ke gas LPG di wilayah tersebut. Sejumlah penelepon mengutarakan pendapat mereka terkait isu ini, memberikan pandangan yang menarik mengenai kondisi ekonomi dan kekhawatiran penggunaan LPG di Natuna.
Keluhan Ekonomi Menjadi Alasan Utama
Efendi, warga Gunung Putri, menyuarakan pandangan umum masyarakat tentang kekhawatiran biaya yang tinggi jika beralih ke LPG. "Masyarakat bukan tidak mau menggunakan gas LPG, tapi masalahnya masyarakat takut terlalu boros," ujar Efendi. Ia menambahkan, "Harga satu tabung gas saja hampir 300 ribu, kalau dibandingkan dengan membeli beras, 300 ribu itu sudah dapat beberapa karung. Itu yang dipikirkan masyarakat." Kekhawatiran akan biaya ini menunjukkan bahwa ekonomi masih menjadi penghalang utama bagi banyak warga yang mempertimbangkan untuk beralih ke LPG.
Perbandingan Ekonomi Minyak Tanah dan Gas LPG
Pandangan serupa disampaikan oleh Bujang dari Sual, yang menyoroti aspek ekonomi dalam penggunaan kedua jenis bahan bakar. "Menurut saya, faktor kecemasan masyarakat bukan pada kekhawatiran terjadinya ledakan pada tabung gasnya, tapi lebih pada faktor ekonomi. Menggunakan gas itu lebih boros," katanya. Bujang menjelaskan bahwa untuk satu bulan, penggunaan minyak tanah biasanya hanya sekitar 6 liter dengan biaya total di bawah 100 ribu rupiah. Sementara, konsumsi LPG bisa mencapai sekitar 300 ribu rupiah untuk satu bulan, sehingga dirasa lebih menguras dompet warga.
Penggunaan Alternatif Bahan Bakar
Rayen dari Jemengan menyoroti pentingnya ketersediaan berbagai opsi bahan bakar untuk masyarakat. "Harapan kami, kalaupun pemerintah menginginkan masyarakat beralih dari minyak tanah ke gas LPG, maka minyak tanah juga harus tersedia," ujarnya. Menurut Rayen, banyak warga Natuna yang memanfaatkan tiga opsi bahan bakar sekaligus kayu bakar, minyak tanah, dan gas LPG untuk menghemat biaya dan memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Ia menambahkan bahwa untuk para pedagang rumahan, penggunaan gas seluruhnya bisa memberatkan anggaran harian mereka.
Keamanan Penggunaan Gas LPG di Rumah Tangga
Sementara itu, Supri dari Pering memberikan pendapatnya mengenai keamanan penggunaan gas LPG di lingkungan rumah tangga. "Masak menggunakan kompor gas itu memang agak boros," katanya. Ia juga memberikan saran agar ibu-ibu rumah tangga yang menggunakan LPG lebih rajin mengecek kondisi regulator dan peralatan gas lainnya untuk mencegah kebocoran. "Kalau kurang paham, ada baiknya hubungi teknisi," tambahnya.
Dilema antara efisiensi energi dan biaya ekonomi tampaknya menjadi akar dari resistensi masyarakat Natuna terhadap program konversi ini. Meskipun pemerintah berharap langkah ini dapat meningkatkan kualitas hidup dengan penggunaan energi yang lebih bersih dan efisien, kekhawatiran akan biaya dan keselamatan masih mendominasi pikiran masyarakat. Ke depan, mungkin diperlukan pendekatan sosialisasi yang lebih komprehensif serta subsidi tambahan untuk membuat transisi ini lebih menarik bagi warga Natuna.
Program konversi dari minyak tanah ke gas LPG memang menantang, namun dengan langkah yang tepat, diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan di Natuna.