Petani

Harga Salak Pondoh Anjlok, Petani Sleman Tangkap Angin Segar dari Sertifikat Ekspor

Harga Salak Pondoh Anjlok, Petani Sleman Tangkap Angin Segar dari Sertifikat Ekspor
Harga Salak Pondoh Anjlok, Petani Sleman Tangkap Angin Segar dari Sertifikat Ekspor

JAKARTA - Petani salak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, kembali berhadapan dengan tantangan berat. Persoalan utama yang dihadapi adalah pemasaran dan harga salak yang anjlok hingga menyentuh angka Rp500 per kilogram. Kondisi ini menyebabkan banyak petani, terutama di saat panen raya, merasa kelimpungan.

Ketua Kelompok Tani (Poktan) Sari Manggala Tempel, Badriyanto, mengungkapkan bahwa kelompoknya telah memegang Sertifikat Prima 3 yang diperbarui setiap tiga tahun sekali. Sertifikat ini merupakan prasyarat penting untuk bisa mengekspor salak ke China. Namun, meski telah memiliki sertifikat tersebut, penyerapan salak selama panen raya masih belum optimal. "Panen raya pertama harga per kilogram rata-rata hanya sekitar Rp1.000 di tingkat petani. Bahkan, ada yang menjual seharga Rp500 per kilogram," ungkap Badriyanto.

Panen salak yang terjadi dua kali dalam setahun, khususnya di bulan Desember-Januari dan Maret-April, diharapkan bisa menjadi peluang besar untuk memasarkan salak ke berbagai pasar, baik domestik maupun internasional. Sayangnya, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Produksi salak Poktan Sari Manggala mencapai 35 ton pada panen pertama, tetapi harga jualnya tetap rendah, menyentuh kisaran bawah.

Badriyanto menambahkan, "Harga salak paling tinggi dicapai pada bulan Agustus hingga September, bisa mencapai Rp7.000-Rp9.000 per kg. Namun, pada bulan-bulan tersebut kami tidak memproduksi salak. Secara geografis, wilayah dataran tinggi seperti di sekitar Gunung Merapi memiliki keuntungan karena bisa memproduksi salak pada bulan tersebut."

Untuk memanfaatkan potensinya, Pemkab Sleman melalui Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (DP3) telah mencoba berbagai upaya untuk menghubungkan petani dengan pasar yang lebih luas. Imawan, Kepala Bidang Hortikultura dan Perkebunan DP3 Sleman, menyatakan, "Kami sudah menghubungkan asosiasi petani salak dengan beberapa jaringan pasar modern seperti Indomaret di Jabodetabek. Pada Januari 2024, beberapa kali penyerapan salak telah dilakukan."

Selain itu, program ekspor ke negara-negara seperti Kamboja, Vietnam, dan China terus didorong. Asosiasi yang bertanggung jawab atas ekspor ini, Asosiasi Salak Mitra Turindo, memastikan bahwa salak dari Sleman memenuhi berbagai standar kualitas dan kuota yang diminta.

Namun, tidak cukup sampai di sana. Imawan melanjutkan, "Kami juga bekerja sama dengan Dinas Pariwisata untuk memasukkan salak ke pusat oleh-oleh dan destinasi wisata agar penyerapan bisa lebih maksimal." Bahkan, ada Surat Edaran (SE) Bupati yang mendorong agar setiap agenda dinas turut menyerap hasil panen salak petani.

Meski upaya-upaya ini terus dilakukan, tantangan bagi petani salak Sleman tidak serta-merta hilang. Selain harga yang rendah, kompetisi dengan daerah lain seperti Banjarnegara dan Wonosobo yang juga menjadi sentra produksi salak pondoh turut menambah tekanan bagi para petani. "Di pasaran, salak dari daerah lain sering mendominasi, meski kualitas salak Sleman sebenarnya lebih unggul," tegas Badriyanto.

Untuk menghadapi situasi ini, beberapa petani, termasuk Poktan Sari Manggala, mulai menyusun strategi baru, salah satunya dengan rencana mendirikan wisata edukasi tentang sejarah dan budidaya salak. Harapannya, upaya ini dapat menjadi daya tarik tambahan dan membuka peluang pasar baru secara langsung ke konsumen yang berkunjung.

Lingkup permasalahan ini akhirnya menggambarkan kompleksitas yang harus dihadapi oleh petani lokal, dimana meskipun ada potensi pasar ekspor dan daya tarik wisata, persoalan harga dan penyerapan hasil masih menjadi PR besar yang butuh penanganan segera. Kolaborasi lebih lanjut antara petani, pemerintah, dan stakeholder terkait diharapkan dapat membawa angin segar bagi ekonomi pertanian salak di Sleman ke depannya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index