JAKARTA - Perubahan iklim menjadi isu global yang semakin mendesak untuk ditangani dengan serius. Dengan dampak yang semakin nyata setiap tahunnya, kebutuhan akan pembiayaan untuk inisiatif keberlanjutan global menjadi semakin krusial. Namun, ketika dunia baru saja menyaksikan Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris di hari pertama masa jabatannya sebagai Presiden ke-47, pertanyaan besar muncul mengenai komitmen negara-negara besar dalam mendukung kesepakatan global tersebut.
Pengumuman penarikan AS dari Perjanjian Paris menimbulkan kekhawatiran di kalangan komunitas internasional. Trump menandatangani perintah eksekutif untuk keluar dari kesepakatan iklim segera setelah dilantik. "Kita bisa berhemat hingga triliunan dengan keluar dari perjanjian tersebut," ujar Trump di hadapan para pendukungnya di Capitol One Arena.
Keluaran AS ini memancing reaksi beragam, termasuk dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Bahlil Lahadalia. "Presiden Amerika yang baru terpilih langsung mundur dari Paris Agreement, padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri. Kalau negara yang memikirkan ini aja mundur, masa kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?" katanya pada akhir Januari 2025.
Ketidakpastian global ini memaksa Indonesia untuk menilai kembali kesiapan dana adaptasi iklim dan transisi energi. Berdasarkan laporan dari Climate Policy Initiative (CPI), terdapat kesenjangan investasi hingga US$146,4 miliar untuk mencapai target yang ditetapkan dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) 2030.
Hal ini menekankan perlunya peran lebih besar dari sektor perbankan dalam pembiayaan iklim di Indonesia. Sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya memiliki tanggung jawab untuk mendukung pembiayaan transisi energi dan inisiatif hijau. Saat ini, Indonesia masih terlalu bergantung pada anggaran pemerintah yang telah mencapai US$96,90 miliar dalam kurun waktu 2015-2021. Sementara itu, kontribusi dari lembaga keuangan publik dan swasta hanya menyentuh angka US$41,7 miliar.
Luthfyana Larasati, Manajer dari Climate Policy Initiative, menyatakan, "Porsi lembaga keuangan publik dan swasta hampir sama. Bank-bank pelat merah domestik sudah masuk untuk pembiayaan sektor iklim, tidak hanya bank pembangunan."
Dalam upaya mendukung agenda keberlanjutan nasional, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. muncul sebagai salah satu pelopor dengan inisiatif pembiayaan hijau. Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar, yang akrab disapa Xandra, menegaskan, "Kami percaya bahwa pembiayaan hijau memegang peranan penting, tidak hanya untuk mendukung agenda keberlanjutan nasional maupun global, tetapi juga untuk memastikan bisnis kami tetap relevan dan berkelanjutan di masa depan."
Sepanjang tahun 2024, Bank Mandiri berhasil mencatat total portofolio pembiayaan berkelanjutan mencapai Rp293 triliun, dengan pertumbuhan 10,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Pembiayaan hijau di bank ini mencapai Rp149 triliun, menunjukkan tren pertumbuhan positif.
Meski diakui pembiayaan hijau memiliki risiko tinggi dan waktu pengembalian investasi yang panjang, Xandra menambahkan, "Kami melihat ini sebagai peluang investasi strategis jangka panjang yang mampu memberikan manfaat signifikan bagi keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial."
Optimisme terhadap pembiayaan hijau juga disampaikan oleh Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Tren peningkatan kredit/pembiayaan hijau tersebut diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan dukungan perbankan terhadap target NZE Indonesia pada 2060."
Meski menghadapi tantangan, termasuk penurunan komitmen dari negara-negara besar seperti AS, Indonesia tetap berkomitmen penuh terhadap keberlanjutan. "Indonesia menerapkan sustainable finance berdasarkan kepentingan dan kebijakan domestik serta komitmen di forum-forum internasional," pungkas Dian.
Dengan dorongan dari sektor perbankan dan dukungan kebijakan yang tepat, Indonesia berharap dapat mencapai target iklim yang lebih ambisius, meskipun tantangan global tetap ada. Upaya untuk meningkatkan investasi dalam pembiayaan hijau adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.