JAKARTA - Krisis bahan baku yang melanda industri pengolahan kelapa di Indonesia kini memasuki bulan kelima, dan tampaknya belum ada tanda-tanda perbaikan. Kondisi ini diperparah oleh peningkatan kebutuhan kelapa selama bulan Ramadhan dan Lebaran yang sudah di depan mata. Para pemain industri telah bersuara tentang tantangan ini, namun hingga saat ini, solusi konkret dari pemerintah masih dinanti.
Ribuan pekerja terkena dampak langsung dari krisis ini. Sejumlah perusahaan telah mengurangi kapasitas produksi mereka sejak akhir 2024, dan kini beberapa telah menghentikan produksi sepenuhnya. Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI), Rudy Handiwidjaja, mengungkapkan keresahannya kepada pemerintah terkait krisis yang semakin kritis ini. "Jika sampai akhir Maret 2025 tidak ada kebijakan dari pemerintah terkait persoalan itu, jumlah pabrik yang dihentikan operasinya oleh kedua perusahaan itu akan bertambah," ujarnya.
Dari data yang dihimpun HIPKI, sejak Januari hingga akhir Februari 2025, setidaknya enam perusahaan telah berhenti berproduksi sementara waktu. Selain itu, dua perusahaan diketahui telah menutup pabriknya secara permanen. Rudy melanjutkan, industri pengolahan kelapa di Riau telah dirugikan secara signifikan, di mana dua perusahaan besar di daerah tersebut telah menghentikan operasi beberapa pabriknya, sehingga menyebabkan sekitar 3.000 karyawan dirumahkan.
Michael Darwis, seorang pelaku industri karbon yang menggunakan tempurung kelapa sebagai bahan baku, turut mengeluhkan situasi ini. Menurutnya, harga kelapa butiran di pasar telah mencapai Rp 15.000 hingga Rp 19.000 per butir akibat kelangkaan. "Di tengah kondisi kekurangan kelapa butiran, yang bakal teriak tidak hanya industri pengolahan kelapa, tetapi juga ibu-ibu rumah tangga dan pelaku usaha makanan-minuman mikro kecil," ungkapnya. Pabriknya di Lampung telah menghentikan operasi sejak Oktober 2024, sementara pabrik di Medan mengoperasikan satu dari tiga mesin yang ada.
Krisis bahan baku ini berawal dari penurunan produksi kelapa yang signifikan pada tahun 2024. Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi kelapa butiran pada tahun 2023 mencapai 2,84 juta ton, yang setara dengan 14,18 miliar kelapa butiran. Namun, angka ini turun pada tahun 2024 menjadi 2,82 juta ton atau 14,11 miliar butiran. Penurunan produksi ini diperparah oleh masifnya ekspor kelapa, baik secara legal maupun ilegal, ke negara-negara seperti China, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Sementara itu, data dari survei internal HIPKI menunjukkan bahwa kapasitas operasional perusahaan-perusahaan kelapa hanya mencapai 33% dari total kapasitas maksimal. Jika bahan baku tidak segera tersedia, setidaknya 21.399 tenaga kerja bisa kehilangan pekerjaan. Potensi kehilangan pendapatan dari sembilan perusahaan saja diperkirakan mencapai Rp 3,4 triliun, dengan total potensi pendapatan sebesar Rp 7,2 triliun terancam melayang.
Menyikapi ini, HIPKI mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan penghentian sementara ekspor kelapa butiran selama enam bulan. Namun, Kementerian Pertanian menyatakan neraca produksi, konsumsi, dan ekspor kelapa nasional masih surplus. Pada akhir 2023, produksi kelapa mencapai 14,18 miliar butir, sedangkan kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan mencapai 9,1 miliar butir per tahun. Meskipun terjadi penurunan produksi sebesar 0,5% pada tahun 2024, yaitu sekitar 70.000 butir, neraca masih menunjukkan surplus.
Meski laporan menunjukkan surplus, realita di lapangan menuturkan kisah yang berbeda. HIPKI dan para pelaku industri berharap pemerintah bisa mengambil langkah cepat dan tepat untuk menstabilkan pasokan bahan baku kelapa. Tanpa intervensi yang jelas, krisis ini tidak hanya mengancam keberlangsungan industri tetapi juga kondisi sosial-ekonomi ribuan pekerja di sektor ini. Pemerintah perlu hadir dan memberikan solusi nyata, agar dampak krisis ini tidak meluas ke sektor-sektor lain yang turut bergantung pada industri pengolahan kelapa.