JAKARTA - Kota Semarang dikenal dengan ragam kuliner khasnya yang menggugah selera, beberapa di antaranya hanya muncul di bulan suci Ramadan. Salah satu yang menjadi primadona adalah kue coro santan dan ketan biru, dua jajanan tradisional yang mampu membangkitkan kenangan masa lalu. Kedua hidangan ini, bersama telur petis bumbon dan sate jagung, menjadi buruan utama masyarakat Semarang saat Ramadan tiba.
Di Pasar Kuliner Ramadan yang terletak di Aloon-aloon Semarang, tepat di jantung Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang Tengah, aneka kuliner khas ini dijajakan dengan meriah. Salah satu stan yang menjadi pusat perhatian adalah lapak bertuliskan 'Ibu Istiqomah', di mana para pengunjung memadati tempat itu untuk mendapatkannya. Denny (46), warga asli Kelurahan Bustaman, adalah penjual yang setiap Ramadan sibuk melayani kebutuhan takjil warga setempat.
"Warung ini sudah turun temurun, dari jaman nenek moyang kami. Sudah lama sekali ada di Aloon-aloon Semarang, lebih lama dari usia saya. Dulu jualannya pakai lampu sentir," ujar Denny menggambarkan warung legendarisnya, saat ditemui di pasar tersebut.
Dengan semangat melestarikan warisan kuliner leluhurnya, Denny menawarkan coro santan dan ketan biru, dua jenis jajanan yang paling dicari setiap Ramadan. Menurutnya, setiap hari tidak kurang dari 20 kilogram coro santan dan 20 kilogram ketan biru habis terjual.
"Coro dan ketan biru ini memang favorit. Ketan biru itu dari beras ketan disajikan dengan enten-enten atau kelapa muda bercampur gula jawa, lalu dikeringkan," Denny menjelaskan. "Kemarin sehari sudah habis sebelum jam 21.30 WIB, telur petis bumbon juga tidak kalah cepat habis."
Telur petis bumbon yang dijual Denny adalah olahan khas Semarang yang tak kalah menggugah selera. Terbuat dari telur rebus, makanan ini dipadu bumbu petis dari ikan banyar yang kaya akan rempah, menciptakan cita rasa unik yang tak mudah ditemukan di luar bulan Ramadan.
Selain itu, Denny juga menyebutkan makanan khas lainnya seperti perkedel jagung atau lebih dikenal dengan sate jagung. Meskipun banyak diminati, Denny terbatas menjualnya karena proses memasaknya yang memerlukan lebih banyak tenaga. "Dari dulu jualannya pakai panci besar lurik-lurik warna hijau. Sekarang, porsi lebih kecil, kadang 2 kg atau 1,5 kg saja, tergantung," tambahnya. "Telur petis bumbon kalau dulu habis 100 telur per hari, sekarang paling 50-60 telur. Mungkin faktor ekonomi juga mempengaruhi."
Harga yang dibanderol untuk coro serta ketan biru adalah Rp 7.000 per porsi, dan Rp 12.000 untuk telur petis bumbon. Meski jumlah produksinya kini berkurang, semangat masyarakat tetap tinggi untuk memburunya. Nostalgia yang ditawarkan oleh jajanan ini turut menarik kalangan orang tua yang ingin mengulang kenangan masa kecil mereka.
"Yang beli rata-rata orang tua, tetapi ada juga anak muda. Mungkin dulunya mereka pernah merasakan dari orangtua mereka," ungkap Denny. "Saya berharap makanan ini tidak hilang dan anak muda lebih kenal. Jangan sampai tergerus makanan kekinian."
Denny berharap, kuliner tradisional yang kaya warisan budaya ini bisa terus dikenal generasi muda Semarang. "Mudah-mudahan remaja sekarang mau mencoba, lebih memilih yang sehat-sehat," tutupnya.
Kehadiran kuliner khas ini di bulan Ramadan jelas menjadi daya tarik tersendiri. Selain untuk mengisi perut saat berbuka, jajanan ini juga menyimpan cerita dan tradisi yang tak ternilai. Semarang, dengan segala keragaman kulinernya, mengingatkan kita akan kekayaan budaya dan kuliner nusantara yang patut kita pelihara.