Energi

Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau Diminta Kerja Cepat untuk Percepat Implementasi Transisi Energi di Indonesia

Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau Diminta Kerja Cepat untuk Percepat Implementasi Transisi Energi di Indonesia
Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau Diminta Kerja Cepat untuk Percepat Implementasi Transisi Energi di Indonesia

JAKARTA  – Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Transisi Energi dan Ekonomi Hijau (TEH) melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 141 Tahun 2025, diharapkan dapat mempercepat transisi energi yang selaras dengan komitmen Indonesia dalam Persetujuan Paris. Satgas ini juga akan berperan penting dalam mewujudkan implementasi Bali Energy Transitions Roadmap dan Bali Compact yang disepakati dalam pertemuan G20 di bawah kepemimpinan Indonesia.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), pembentukan Satgas TEH menjadi langkah strategis untuk menyelesaikan tantangan dalam transisi energi global. "Pembentukan Satgas TEH juga menjadi bentuk tanggung jawab moral Indonesia dalam melaksanakan hasil keputusan G20, termasuk sembilan prinsip Bali Compact dan tiga prioritas dalam Bali Energy Transitions Roadmap. Tiga prioritas tersebut antara lain memastikan akses energi, meningkatkan penggunaan teknologi energi bersih dan cerdas (smart), serta mendorong pendanaan energi terbarukan," ungkap Fabby.

Tantangan Investasi Energi Terbarukan

Salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam transisi energi adalah kesulitan mencapai target investasi energi terbarukan. Fabby menyoroti bahwa investasi energi terbarukan Indonesia seringkali meleset dari target yang telah ditetapkan. "Pada 2024, investasinya hanya mencapai USD1,8 miliar, jauh di bawah target USD2,6 miliar," ujarnya.

Rendahnya minat investasi pada sektor energi terbarukan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya iklim investasi yang kurang mendukung. Beberapa proyek energi terbarukan, seperti panas bumi di Flores, PLTS Terapung di Sumatera Barat, dan PLTA, menghadapi penolakan dari masyarakat, yang semakin meningkatkan risiko bagi para pelaku bisnis dan lembaga pembiayaan.

Untuk itu, IESR mendesak agar Satgas TEH berperan sebagai wadah koordinasi antara kementerian dan lembaga pemerintah untuk mempercepat transisi energi. Satgas TEH diharapkan dapat mencari solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan investasi energi terbarukan, sekaligus merancang kebijakan yang lebih mendukung pengembangan energi bersih.

Peran Penting Satgas TEH dalam Implementasi JETP dan ETM

Salah satu harapan besar dari pembentukan Satgas TEH adalah untuk memperkuat peran Indonesia dalam implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Program ini diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas Indonesia dalam mengelola pembiayaan transisi energi, khususnya di sektor ketenagalistrikan. Melalui langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat mencapai target puncak emisi sektor listrik pada 2030 dan target net-zero emission pada 2050.

IESR percaya bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan di Indonesia tidak hanya mungkin, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara yang efisien dan hemat biaya. Berdasarkan studi terbaru berjudul Unlocking Indonesia’s Renewable Future, IESR telah mengidentifikasi potensi proyek energi terbarukan berkapasitas 333 GW yang layak secara teknis dan finansial di 632 lokasi di seluruh Indonesia.

"Data ini dapat menjadi referensi bagi Satgas TEH untuk menyoroti peluang investasi energi terbarukan di Indonesia, serta menjadikan proyek-proyek tersebut sebagai bagian dari daftar yang bisa didanai oleh JETP dan ETM untuk menggantikan PLTU," jelas Fabby. Ia juga menambahkan bahwa Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi perubahan yang sedang terjadi dalam ekonomi global.

Dampak Pajak Karbon dan Persaingan Global

Selain itu, Fabby juga mengingatkan bahwa Eropa akan segera mengenakan pajak karbon terhadap barang dan jasa yang masuk ke kawasan tersebut. Hal ini menjadi sinyal kuat bahwa perdagangan dan pembangunan ekonomi global bergerak menuju ekonomi rendah karbon. "Indonesia harus memastikan industrinya siap agar tetap berdaya saing di pasar global," tegasnya.

Dalam hal ini, Satgas TEH diharapkan memainkan peran yang sangat penting dalam mempercepat transformasi ekonomi hijau di Indonesia, khususnya dengan mendorong dekarbonisasi di sektor industri. Langkah ini dianggap krusial untuk memastikan pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan di masa depan.

Kolaborasi dan Komunikasi yang Inklusif

Sebagai langkah lebih lanjut, IESR mendorong Satgas TEH untuk memastikan komunikasi yang inklusif dengan berbagai pemangku kepentingan. Fabby menekankan pentingnya keterlibatan aktif dari masyarakat sipil, pelaku usaha, serta sektor swasta lainnya dalam proses transisi energi ini. "Partisipasi aktif dari berbagai sektor menjadi kunci utama untuk memastikan transisi energi yang adil, berkelanjutan, dan berdampak positif bagi masa depan Indonesia," ujarnya.

Satgas TEH diharapkan tidak hanya fokus pada transisi energi dari fosil ke terbarukan, tetapi juga pada penciptaan lapangan kerja hijau yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan besar dalam menghadapi perubahan iklim dan memanfaatkan potensi besar energi terbarukan yang dimiliki.

Pembentukan Satgas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia mempercepat transisi energi yang berkelanjutan dan mendukung ekonomi hijau. Dengan dukungan koordinasi antar kementerian dan lembaga, serta kebijakan yang mendukung investasi energi terbarukan, Indonesia diharapkan dapat memenuhi komitmennya dalam transisi energi global dan tetap menjadi pemain utama dalam ekonomi dunia yang semakin berorientasi pada keberlanjutan dan rendah karbon.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index