AI

AI Tak Punya Emosi, Tapi Punya Potensi: Jadi Mitra Literasi Digital yang Mendorong Inovasi dan Kemudahan Akses Pengetahuan

AI Tak Punya Emosi, Tapi Punya Potensi: Jadi Mitra Literasi Digital yang Mendorong Inovasi dan Kemudahan Akses Pengetahuan
AI Tak Punya Emosi, Tapi Punya Potensi: Jadi Mitra Literasi Digital yang Mendorong Inovasi dan Kemudahan Akses Pengetahuan

JAKARTA  Di tengah arus deras digitalisasi, teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini hadir sebagai mitra penting dalam mendukung literasi digital masyarakat. AI tak hanya membantu pencarian informasi, tetapi juga menjadi alat bantu untuk belajar, berpikir kritis, hingga menghasilkan tulisan dan simulasi pembelajaran.

Dalam sebuah lokakarya literasi digital yang diadakan di Banjarnegara dan diikuti puluhan peserta dari berbagai kalangan, peran AI dibahas secara mendalam, khususnya dalam konteks pengembangan literasi di era modern.

Kepala Perpustakaan sebuah universitas negeri di Purwokerto menjelaskan bahwa kecerdasan buatan telah mengubah cara manusia mengakses dan menyerap informasi. Salah satu contoh penerapan AI yang paling dikenal adalah penggunaan ChatGPT dalam aktivitas literasi dan akademik.

“ChatGPT, misalnya, bisa digunakan untuk mencari data, berdiskusi kritis, mengedit tulisan, bahkan menjadi semacam konsultan penulisan. Menariknya, meski tidak memiliki emosi, AI kadang ‘lebih responsif’ kalau kita memberinya prompt atau pertanyaan yang diawali dengan pujian,” ujarnya sambil berseloroh kepada para peserta lokakarya.

Ia menekankan bahwa meskipun teknologi dapat menyederhanakan proses literasi, kebiasaan membaca konvensional tetap tidak boleh ditinggalkan. Ia mendorong peserta untuk tetap membaca setidaknya dua jam setiap hari.

“Kebiasaan membaca itu penting untuk membentuk endapan memori jangka panjang. AI bisa membantu, tapi tidak menggantikan proses internalisasi informasi melalui membaca,” tambahnya.

AI: Solusi Digital dalam Dunia Pendidikan dan Literasi

Dalam kesempatan yang sama, seorang pemateri lain yang juga merupakan praktisi teknologi informasi menegaskan bahwa AI kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Menurutnya, AI memiliki potensi untuk bekerja lebih cepat dan akurat dibanding manusia dalam hal-hal tertentu, terutama ketika keterbatasan mobilitas menjadi kendala, seperti yang pernah dialami saat pandemi.

Namun ia menekankan bahwa sehebat apa pun AI, pada dasarnya tetaplah sebuah alat yang bergantung pada cara manusia menggunakannya.

“AI adalah alat bantu. Kita harus tetap kritis, bijak, dan bertanggung jawab dalam penggunaannya. Jangan sepenuhnya menyerahkan keputusan penting kepada mesin,” tegasnya.

Pemanfaatan AI di dunia pendidikan juga semakin luas. Dari penilaian otomatis, personalisasi pembelajaran, hingga pemantauan perkembangan siswa, AI memberikan efisiensi dan akurasi yang sebelumnya sulit dicapai. Beberapa institusi pendidikan bahkan sudah mulai menggunakan teknologi ini untuk membantu guru dalam membuat materi ajar yang sesuai kebutuhan masing-masing siswa.

AI dan Tantangan Etika Digital

Meski manfaatnya banyak, kehadiran AI dalam proses literasi dan pendidikan digital juga menimbulkan sejumlah pertanyaan etis. Misalnya, apakah siswa akan kehilangan kemampuan menulis dan berpikir kritis jika terlalu bergantung pada AI? Apakah informasi yang diberikan oleh AI selalu akurat dan bisa dipercaya?

Para pemateri sepakat bahwa literasi digital tidak hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kecakapan dalam memilah informasi, berpikir kritis, dan memahami konteks sosial digital. Oleh karena itu, peran manusia sebagai pengendali tetap harus diutamakan.

Dalam diskusi, peserta juga diajak mengenali bagaimana menyusun prompt atau perintah yang efektif agar mendapatkan hasil terbaik dari AI. Teknik komunikasi ini disebut sebagai bagian dari "AI literacy", yaitu kemampuan memahami bagaimana AI bekerja dan bagaimana manusia bisa mengoptimalkan manfaatnya secara etis dan efisien.

Sinergi AI dan Kebiasaan Membaca

Lokakarya literasi digital tersebut menyimpulkan bahwa sinergi antara AI dan kebiasaan membaca manusia adalah kunci sukses menghadapi era digital. AI memang tidak memiliki emosi atau kesadaran, tetapi dapat menjadi alat bantu luar biasa jika digunakan dengan cara yang tepat.

“Literasi digital bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga soal sikap kritis, etika, dan semangat belajar yang tak pernah berhenti. AI bisa jadi mitra, tapi manusia tetap harus jadi pengendalinya,” pungkas pembicara di akhir acara.

Dengan semakin berkembangnya teknologi kecerdasan buatan, masyarakat dituntut untuk tidak hanya melek digital, tetapi juga bijak dalam menggunakannya. AI bukan pengganti manusia, melainkan mitra yang dapat memperkuat potensi berpikir, belajar, dan berkreasi di tengah revolusi informasi yang semakin kompleks.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index