Pinjol

Lindungi Perempuan dari Jeratan Pinjol, Komnas Perempuan Usulkan Pembentukan Unit Respons Cepat

Lindungi Perempuan dari Jeratan Pinjol, Komnas Perempuan Usulkan Pembentukan Unit Respons Cepat
Lindungi Perempuan dari Jeratan Pinjol, Komnas Perempuan Usulkan Pembentukan Unit Respons Cepat

JAKARTA — Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak pemerintah segera membentuk unit siaga untuk menangani perempuan korban jeratan pinjaman online (pinjol). Desakan ini dialamatkan khusus kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Kementerian Sosial (Kemensos) sebagai bentuk respons atas tingginya jumlah korban perempuan dalam kasus pinjol, baik legal maupun ilegal.

“Kami merekomendasikan supaya Kementerian Sosial dan Kementerian PPPA membentuk unit tanggap yang responsif terhadap kebutuhan korban pinjol,” ujar Wakil Ketua Komisi Paripurna Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak.

Perempuan Jadi Korban Utama Pinjol

Menurut Sondang, fenomena pinjol tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga menciptakan tekanan psikologis dan sosial yang serius bagi perempuan. Ia menyebut banyak korban mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, bahkan hingga mengalami gangguan kesehatan mental. Dalam kasus ekstrem, korban bahkan sampai mempertimbangkan bunuh diri.

“Ada korban yang sakit, ada yang menjadi korban KDRT, ada yang menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan yang paling ekstrem, ada yang sampai ingin mengakhiri hidupnya. Jadi negara harus siap dengan jaring pengaman,” tegasnya.

Komnas Perempuan mencatat bahwa mayoritas korban pinjol adalah perempuan yang telah menikah, termasuk ibu rumah tangga dan guru. Kelompok ini dinilai lebih rentan karena sering kali terdesak memenuhi kebutuhan keluarga di tengah situasi ekonomi yang sulit.

“Alasan utama meminjam itu bukan untuk konsumtif, tapi untuk kebutuhan keluarga,” lanjut Sondang. “Jadi ini banyak yang ibu rumah tangga, ada juga yang guru. Mereka tidak meminjam untuk foya-foya, tapi untuk bertahan hidup.”

Data Korban Mayoritas Perempuan

Data terbaru dari Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa terdapat 1.081 korban pinjol ilegal. Dari jumlah tersebut, 657 di antaranya atau sekitar 61 persen adalah perempuan. Sisanya, 424 orang atau 39 persen merupakan laki-laki.

Angka ini menunjukkan bahwa perempuan masih menjadi kelompok yang paling terdampak dalam praktik pinjaman online ilegal. Tingkat literasi keuangan yang rendah dan akses terbatas terhadap layanan keuangan formal menjadi faktor yang memperburuk kerentanan tersebut.

Peran Penting Pemerintah dan Regulasi

Komnas Perempuan juga menyoroti pentingnya keterlibatan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) dalam pengawasan ekosistem digital tempat beredarnya layanan pinjol. Sondang menegaskan, pengawasan terhadap pinjol legal perlu diperketat, sementara pinjol ilegal harus diberantas.

“Perlu kerja sama yang kuat antara Kemkomdigi, OJK, kepolisian, dan lembaga lain agar regulasi yang ada tidak hanya kuat di atas kertas, tapi juga efektif di lapangan,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa peraturan yang ada saat ini belum cukup kuat dan pengawasannya masih lemah.

Lebih lanjut, Sondang menekankan perlunya edukasi dan sosialisasi yang masif kepada masyarakat mengenai bahaya dan risiko pinjaman online, terutama pinjol ilegal yang sering menyasar kelompok perempuan. Ia meminta agar kementerian dan lembaga terkait tidak hanya menindak, tetapi juga mengedukasi secara preventif.

“Semua pihak harus bergerak bersama. Edukasi masyarakat supaya tidak tergiur pinjol itu penting. Banyak yang tergiur karena butuh cepat, tapi akhirnya terjerat bunga mencekik dan intimidasi,” katanya.

Perlunya Pendekatan Terpadu

Dalam menghadapi kompleksitas masalah pinjol, Komnas Perempuan menilai bahwa pemerintah perlu mengembangkan pendekatan terpadu yang tidak hanya berfokus pada aspek hukum dan keuangan, tetapi juga pada aspek sosial dan psikologis korban.

Langkah konkret seperti pembentukan unit siaga yang responsif, penyediaan konseling, bantuan hukum, dan jaminan sosial bagi korban perlu segera direalisasikan. Unit ini juga diharapkan dapat menjadi garda depan dalam menerima laporan, memberikan pendampingan, serta memfasilitasi rehabilitasi korban pinjol, khususnya perempuan.

Maraknya kasus perempuan terjerat pinjaman online menjadi sinyal darurat bagi pemerintah dan lembaga terkait. Tanpa tindakan cepat dan menyeluruh, jutaan perempuan Indonesia akan terus menjadi target dari industri pinjol yang kerap menjerat dalam situasi yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan mereka.

“Negara harus hadir. Kita tidak bisa membiarkan para perempuan ini berjuang sendiri menghadapi tekanan ekonomi dan intimidasi dari pinjol,” pungkas Sondang.

Dengan data dan fakta yang terus menunjukkan peningkatan korban, sudah saatnya pemerintah membentuk mekanisme tanggap darurat yang efektif untuk melindungi kelompok rentan, terutama perempuan, dari jeratan pinjol yang semakin masif dan meresahkan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index