Energi

Transisi Energi Mulai Terarah: Peta Jalan Baru Siap Mengawal Perubahan Energi Indonesia

Transisi Energi Mulai Terarah: Peta Jalan Baru Siap Mengawal Perubahan Energi Indonesia
Transisi Energi Mulai Terarah: Peta Jalan Baru Siap Mengawal Perubahan Energi Indonesia

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Aturan ini mengatur mekanisme pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai bagian dari komitmen menuju energi bersih dan pengurangan emisi karbon. Namun, sejumlah pihak mengkritik pendekatan kebijakan ini karena dinilai terlalu menitikberatkan pada aspek finansial dan teknokratis, sementara kepentingan lingkungan dan keadilan sosial belum menjadi prioritas utama.

Dalam peraturan tersebut, pemerintah menetapkan sepuluh indikator untuk menilai kelayakan PLTU yang akan dipensiunkan. Penilaian ini menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan masukan dari berbagai pakar. Di antara indikator tersebut, kriteria dengan bobot tertinggi adalah ketersediaan dukungan pendanaan, yaitu sebesar 27,1%. Sementara itu, indikator lingkungan seperti emisi gas rumah kaca hanya mendapatkan bobot 9,3%, jauh di bawah bobot aspek teknis dan ekonomi lainnya.

Kriteria lainnya mencakup keandalan sistem ketenagalistrikan (13%), dampak biaya pokok penyediaan terhadap tarif listrik (10,3%), dan penerapan prinsip just energy transition (10,1%). Selain itu, kapasitas pembangkit dan usia pembangkit masing-masing diberi bobot 4,4%, sementara capacity factor sebesar 5,2%, ketersediaan teknologi 6,4%, dan nilai tambah ekonomi 9,8%.

Kritik Terhadap Pendekatan Finansial-Sentris

Skema pembobotan tersebut menuai kritik karena dinilai mengabaikan urgensi ekologis dalam proses transisi energi. Bobot terbesar yang diberikan pada aspek pendanaan menunjukkan bahwa keputusan penghentian PLTU lebih dipengaruhi oleh kelayakan finansial daripada kontribusinya terhadap kerusakan lingkungan.

"Transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon," ujar salah satu pakar energi terbarukan. Ia menegaskan bahwa jika pemerintah terus menempatkan logika proyek di atas urgensi iklim, maka transisi energi justru akan menjadi alat pembenaran untuk mempertahankan keberadaan PLTU.

Menurut para pengamat, karbon yang dihasilkan PLTU tidak hanya memperparah krisis iklim global, tetapi juga menimbulkan dampak jangka panjang berupa pencemaran udara, meningkatnya beban kesehatan masyarakat, kerusakan ekosistem, dan penurunan kualitas hidup. Sayangnya, semua dampak ini tidak mendapat perhatian yang seimbang dalam skema evaluasi.

Aspek Keadilan Energi Kurang Terdefinisi

Permen ESDM No. 10/2025 juga memasukkan indikator “just energy transition” dengan bobot 10,1%. Namun, tidak tersedia penjelasan rinci mengenai ruang lingkup indikator ini, termasuk parameter pengukurannya. Ketidakjelasan ini membuka ruang multitafsir dan berisiko memunculkan ketidakadilan dalam implementasi kebijakan, terutama bagi komunitas rentan dan wilayah terdampak langsung oleh operasional PLTU.

Partisipasi Publik Dinilai Minim

Kritik lain yang muncul adalah kurangnya pelibatan masyarakat sipil, komunitas terdampak, serta akademisi dalam penyusunan indikator dan metodologi penilaian. Hal ini dianggap bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi dan prinsip partisipasi bermakna dalam proses perumusan kebijakan publik.

Sejumlah pemerhati kebijakan menilai, tanpa keterlibatan publik, transisi energi akan terus dikuasai oleh aktor-aktor elite yang memiliki kepentingan ekonomi, bukan oleh kebutuhan empiris masyarakat yang paling terdampak. Ketiadaan ruang dialog publik juga dapat menurunkan legitimasi kebijakan dan berisiko menciptakan konflik sosial di lapangan.

Usulan Peninjauan Ulang Indikator

Untuk menghindari kegagalan dalam implementasi, berbagai pihak mendorong agar pemerintah meninjau ulang pendekatan yang terlalu fokus pada kelayakan ekonomi. Setidaknya ada empat aspek penting yang perlu diperkuat dalam evaluasi pensiun dini PLTU.

Pertama, indikator lingkungan harus ditingkatkan secara signifikan. Ini mencakup data real-time mengenai polusi udara dan air serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Kedua, aspek kerentanan sosial-ekologis harus menjadi perhatian utama, terutama di wilayah dengan ekosistem rentan dan populasi padat.

Ketiga, tingkat partisipasi publik perlu dijadikan indikator kunci, termasuk transparansi proses penilaian dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Keempat, pemerintah diminta memperhatikan dampak jangka panjang dari kebijakan pensiun dini, seperti beban biaya kesehatan, dampak ekonomi lokal, dan kerusakan lingkungan permanen.

Masa Depan Transisi Energi

Pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menghentikan seluruh operasional PLTU dalam 15 tahun ke depan. Namun, tanpa peta jalan yang adil, transparan, dan berorientasi pada perlindungan lingkungan, tujuan tersebut dikhawatirkan hanya menjadi janji politik tanpa realisasi.

Transisi energi seharusnya menjadi momentum koreksi terhadap sistem energi nasional yang selama ini bersifat eksploitatif dan tidak berkelanjutan. Jika pemerintah terus terjebak dalam pendekatan teknokratis dan finansial, maka peta jalan yang disusun hanya akan memperkuat ketergantungan pada industri energi fosil, bukannya memutusnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index