JAKARTA - Pada malam yang hening di Istana Merdeka, Presiden Prabowo Subianto duduk termenung. Di dalam kesunyian malam itu, ia merenungkan pidato yang baru saja disampaikannya di Monas, mengenai buruh, nasionalisme, dan penghormatan terhadap Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh oleh militer pada 1993.
Namun, di tengah keheningan malam, seorang sosok muncul. Bukan seorang menteri atau panglima, melainkan arwah Marsinah, buruh yang telah tiada, tetapi tetap hidup dalam kenangan dan perjuangan buruh Indonesia.
Marsinah dan Presiden Prabowo: Dialog Tentang Nasib Buruh
Dalam dialog imajiner ini, Marsinah mulai berbicara kepada Presiden Prabowo.
"Selamat malam, Pak Presiden. Saya dengar Bapak ingin menjadikan saya Pahlawan Nasional," ucap Marsinah dengan suara yang lembut namun penuh makna.
Presiden Prabowo menjawab dengan penuh penghormatan, menyadari bahwa Marsinah adalah simbol perjuangan buruh.
"Benar, Marsinah. Engkau simbol perjuangan buruh yang tak kenal takut. Rakyat harus tahu jasamu," jawab Prabowo.
Namun, Marsinah tampaknya tidak merasa cukup hanya dengan gelar. Ia mengingatkan bahwa nasib buruh saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Walaupun pidato yang disampaikan di Monas mengungkapkan dukungan terhadap buruh, faktanya banyak buruh yang justru merasa semakin tertekan. Banyak dari mereka yang menerima surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang memaksa mereka kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.
"Bapak tahu tidak? Saat Bapak bicara di Monas tadi pagi, ribuan buruh menangis karena menerima surat PHK," ujar Marsinah, dengan nada yang penuh penyesalan.
Kondisi Buruh: Gelombang PHK yang Meningkat
Presiden Prabowo mencoba menjelaskan, menyebutkan bahwa tantangan ekonomi global menjadi faktor utama dalam banyaknya PHK yang terjadi.
"Itu tantangan global. Ekonomi sedang sulit," jawab Prabowo.
Namun, Marsinah tidak sepenuhnya menerima alasan tersebut. Ia menegaskan bahwa buruh di Indonesia sudah terlalu lama menderita akibat sistem yang ada, dan krisis global tidak bisa terus dijadikan kambing hitam.
"Jangan selalu kambinghitamkan krisis global. Di negeriku, PHK jadi rutinitas. Undang-Undang Cipta Kerja yang Bapak dukung justru mempermudah PHK dan memperlemah serikat buruh," ujar Marsinah dengan penuh keyakinan.
Marsinah kemudian menunjukkan data yang mengguncang, yang mencatatkan bahwa lebih dari 50.000 buruh di Indonesia di-PHK hanya dalam empat bulan pertama tahun 2025. Data ini menegaskan betapa banyaknya buruh yang terpaksa kehilangan pekerjaan mereka akibat kondisi ekonomi yang semakin sulit.
Tuntutan Marsinah: Penghormatan Lebih dari Sekadar Gelar
Marsinah kembali bertanya kepada Presiden Prabowo, kali ini dengan pertanyaan yang menggugah tentang apakah penghormatan yang diberikan kepada dirinya benar-benar cukup dengan gelar ataukah harus diwujudkan melalui kebijakan yang lebih berpihak pada buruh.
"Apakah penghormatan kepada saya cukup dengan gelar? Atau seharusnya ditunjukkan lewat kebijakan yang adil bagi buruh? Upah minimum yang layak? Kontrak kerja yang manusiawi? Perlindungan untuk yang melahirkan, yang sakit, yang tua, yang cacat?" tanya Marsinah dengan tegas.
Presiden Prabowo terdiam, tidak mampu memberi jawaban yang memadai. Marsinah kemudian berdiri dan menyampaikan seruannya.
"Aku dibunuh karena melawan penindasan. Tapi hari ini, jutaan buruh hidup dalam ketakutan tanpa harus dibunuh. Mereka dibungkam lewat kemiskinan, dibatasi lewat sistem, dan dipecat atas nama efisiensi. Aku tidak butuh gelar jika kalian semua diam. Tapi jika kalian berani melawan, maka aku hidup kembali," tegas Marsinah.
Refleksi atas Penghormatan untuk Marsinah
Dialog imajiner ini memberikan gambaran yang sangat nyata tentang nasib buruh di Indonesia. Marsinah, meskipun telah tiada sejak 1993, tetap menjadi simbol perjuangan buruh Indonesia. Ia mengingatkan kita semua bahwa penghormatan sejati kepada pahlawan tidak hanya bisa diwujudkan dengan pemberian gelar atau penghargaan, tetapi harus melalui kebijakan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan buruh.
Pengangkatan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional memang penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah mengangkat harkat buruh hidup-hidup melalui kebijakan yang berpihak pada mereka. Buruh tidak hanya membutuhkan pengakuan atas jasa-jasa mereka, tetapi juga perlindungan yang nyata, upah yang layak, serta hak-hak yang adil di tempat kerja.
Nasib Buruh di Indonesia: UU Cipta Kerja dan PHK Massal
Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 menjadi sorotan utama dalam diskusi ini. Banyak pihak menilai bahwa UU ini semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK terhadap buruh dan mengurangi hak-hak buruh, seperti pesangon. Selain itu, UU ini juga dianggap mengurangi kekuatan serikat buruh dalam memperjuangkan hak-hak anggotanya.
Marsinah, meskipun sudah tiada, terus menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada buruh. Pada saat yang sama, serikat buruh di Indonesia terus menuntut agar kebijakan tersebut dievaluasi dan diperbaiki. Buruh tidak hanya ingin dilihat sebagai simbol, tetapi sebagai pihak yang berhak mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang layak di negara ini.
Memperjuangkan Kesejahteraan Buruh
Dialog imajiner antara Marsinah dan Presiden Prabowo Subianto ini menjadi refleksi mendalam tentang nasib buruh di Indonesia. Walaupun Marsinah telah tiada, perjuangannya tetap hidup dalam setiap langkah buruh yang terus berjuang untuk hak-haknya. Mengangkat Marsinah sebagai Pahlawan Nasional adalah langkah yang penting, tetapi langkah yang lebih besar adalah memastikan kebijakan yang berpihak pada buruh, yang memberikan mereka keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan yang selama ini mereka perjuangkan.
Perjuangan Marsinah dan seluruh buruh Indonesia untuk mendapatkan hak-hak mereka yang layak harus terus diperjuangkan. Hanya dengan kebijakan yang berpihak pada buruh, kita dapat memastikan bahwa Marsinah dan semua buruh yang telah berjuang tidak akan pernah dilupakan.