AAUI

AAUI Dorong Lahirnya Dua Raksasa Reasuransi Nasional untuk Perkuat Ketahanan Industri Asuransi

AAUI Dorong Lahirnya Dua Raksasa Reasuransi Nasional untuk Perkuat Ketahanan Industri Asuransi
AAUI Dorong Lahirnya Dua Raksasa Reasuransi Nasional untuk Perkuat Ketahanan Industri Asuransi

JAKARTA — Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendorong pembentukan dua perusahaan reasuransi besar di dalam negeri guna memperkuat daya tahan industri asuransi nasional terhadap risiko, sekaligus mengurangi ketergantungan pada penempatan reasuransi ke luar negeri.

Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menyatakan bahwa kapasitas reasuransi domestik saat ini masih terlalu kecil untuk menampung lonjakan risiko di sektor asuransi umum. Menurutnya, keberadaan dua perusahaan reasuransi besar dengan modal dan kapasitas memadai akan membantu menahan arus premi agar tidak terus mengalir ke luar negeri (capital flight).

“Ya karena memang kapasitas segala magnitudenya masih kecil. Bukan hanya permodalan, semuanya lah. Satu ekosistem. Kalau saya mungkin lebih baik punya dua reasuransi besar, tapi paling tidak yang bisa menahan risiko di dalam negeri,” ujar Budi usai acara Maipark Awards dan Economic Capital 2025 di Jakarta.

Modal Reasuransi Indonesia Jauh dari Ideal

Data dari sembilan perusahaan reasuransi nasional mencatatkan total ekuitas hanya sebesar Rp6,61 triliun per akhir 2024. Jumlah ini jauh dibandingkan total premi industri asuransi umum dan reasuransi yang mencapai Rp148,5 triliun, hampir 22 kali lipat dari total modal yang tersedia di sektor reasuransi domestik.

AAUI memandang kondisi ini sebagai hambatan serius dalam menyerap risiko dalam negeri, terutama untuk proyek-proyek besar seperti energi dan aviasi yang saat ini masih didominasi oleh penempatan ke luar negeri.

Budi mengkritisi efektivitas peraturan OJK dalam mendorong peningkatan modal melalui POJK 23/2023. Menurutnya, meski regulasi itu ada, belum tentu menjamin penghentian capital flight.

“Apakah dengan nanti peningkatan capital dengan POJK 23 bisa menjamin tidak terjadi capital flight? Risiko-risiko yang memang belum bisa ditahan di dalam negeri, contoh energi, aviasi, kan itu masih tinggi penempatannya di luar,” jelasnya.

Masalah Rating Internasional dan Appetite Risiko

Lebih lanjut, Budi juga menyoroti pentingnya perusahaan reasuransi dalam negeri memiliki rating internasional, terutama untuk memenuhi syarat-syarat dalam proyek yang didanai lembaga global atau berbasis MBS (Mortgage-Backed Securities). Hingga kini, belum ada reasuransi nasional yang mengantongi rating global yang dibutuhkan.

Di sisi lain, Direktur Utama PT Reasuransi Maipark Indonesia, Kocu Andre Hutagalung, menekankan bahwa peningkatan kapasitas tidak hanya ditentukan oleh besarnya modal, tetapi juga appetite risiko, yakni seberapa besar keberanian perusahaan dalam menahan risiko secara langsung.

“Kalau saya percaya itu kan risk appetite. Mau nahan sedikit itu risk appetite. Kalau dia nahan sedikit berarti reas-nya [ke luar negeri] besar, kalau dia nahan banyak reasnya kecil. Apa yang mempengaruhi risk appetite? Rasa percaya diri. Rasa percaya diri ini dibangun oleh apa? Pengetahuan,” kata Kocu.

Menurutnya, banyak perusahaan di Indonesia memiliki ekuitas Rp2 triliun hingga Rp3,5 triliun namun tetap memiliki retensi risiko yang rendah, menunjukkan bahwa modal bukan satu-satunya faktor yang menentukan daya tahan risiko.

“Jadi mengaitkan retensi dengan ekuitas secara teori iya, tapi dalam kenyataan bukan itu driver utamanya. Itu banyak orang yang nggak aware,” tambah Kocu.

Maipark Fokus pada Nilai Tambah dan Edukasi Risiko

Maipark, lanjut Kocu, berfokus pada pengembangan model risiko bencana dan riset ilmiah ketimbang sekadar mengandalkan kapital. Menurutnya, perusahaan reasuransi perlu hadir sebagai bagian dari rantai nilai dalam bisnis asuransi, bukan hanya sebagai penampung risiko.

“Kami ingin memastikan bahwa keberadaan value dari Maipark itu esensial di dalam model bisnis setiap perusahaan. Sehingga apapun yang terjadi, tantangan di masa depan, dia akan selalu melihat dia butuh Maipark dalam keadaan apapun,” tuturnya.

Peta Kekuatan Reasuransi Indonesia

PT Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re) masih menjadi pemain dominan dengan ekuitas sebesar Rp2,52 triliun. Posisi kedua ditempati oleh PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure) dengan ekuitas Rp1,52 triliun, disusul oleh PT Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein) dengan Rp1,45 triliun.

Berikut daftar ekuitas perusahaan reasuransi nasional lainnya per 2024:

Nusantara Re: Rp903 miliar

Maipark: Rp772 miliar

Inare: Rp574,72 miliar

Orion Reasuransi (pemain baru): Rp519 miliar

Reindo Syariah: Rp421,98 miliar

Nasional Re: Ekuitas negatif Rp2,07 triliun

AAUI menekankan bahwa jika Indonesia ingin memperkuat industri asuransi nasional secara menyeluruh, maka pembentukan perusahaan reasuransi berskala besar, peningkatan pengetahuan risiko, serta penguatan ekosistem permodalan harus berjalan secara simultan.

Langkah ini diyakini bisa meningkatkan kemandirian industri, memperbesar retensi risiko dalam negeri, dan mengurangi ketergantungan pada pasar reasuransi luar negeri.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index