Jepang

Dulu Dilarang, Kini Daging Sapi Jadi Primadona di Jepang: Sejarah dan Perubahan Pandangan

Dulu Dilarang, Kini Daging Sapi Jadi Primadona di Jepang: Sejarah dan Perubahan Pandangan
Dulu Dilarang, Kini Daging Sapi Jadi Primadona di Jepang: Sejarah dan Perubahan Pandangan

JAKARTA - Jepang, yang kini dikenal sebagai salah satu negara penghasil daging sapi berkualitas terbaik, termasuk wagyu kobe, ternyata pernah mengalami masa di mana mengonsumsi daging sapi dianggap sebagai tindakan tabu. Pada masa lalu, terutama di era Kekaisaran Jepang, masyarakat menghindari makan daging sapi karena alasan agama dan budaya. Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan ini berubah drastis. Kini, daging sapi justru menjadi salah satu bahan makanan paling diminati, bahkan di luar negeri.

Sejarah Larangan Makan Daging Sapi di Jepang

Pada tanggal 18 Februari 1872, sebuah peristiwa penting terjadi di Istana Kekaisaran Jepang. Sekelompok biksu Buddha menyerbu istana untuk memprotes Kaisar Meiji yang baru saja mengonsumsi daging sapi. Saat itu, makan daging sapi dianggap sebagai tindakan terlarang yang melanggar ajaran agama Buddha yang dianut oleh sebagian besar penduduk Jepang. Para biksu menganggap bahwa tindakan ini bisa merusak spiritualitas masyarakat Jepang yang sudah mematuhi larangan makan daging selama lebih dari 1.200 tahun.

Para biksu percaya bahwa makan daging sapi dapat memicu krisis spiritual yang berbahaya bagi keharmonisan jiwa masyarakat Jepang. Hal ini disebabkan karena buddhisme mengajarkan bahwa manusia bisa bereinkarnasi menjadi hewan, dan dengan makan daging hewan, seseorang berisiko memakan roh nenek moyangnya yang bereinkarnasi.

"Daging sapi dianggap tabu oleh masyarakat Jepang karena keyakinan bahwa mengonsumsinya akan mengancam kedamaian jiwa mereka dan bisa menghubungkan mereka dengan reinkarnasi makhluk hidup yang lebih rendah," kata Naomichi Ishige, seorang sejarawan yang mempelajari pola makan masyarakat Jepang pada masa Kekaisaran.

Agama dan Praktik Sosial

Larangan mengonsumsi daging sapi ini semakin diperkuat dengan masuknya agama Buddha dari Korea pada abad ke-6. Sebelumnya, masyarakat Jepang adalah pemakan daging, termasuk daging rusa dan babi hutan, yang sering dimakan oleh kaum bangsawan Jepang yang gemar berburu. Namun, ajaran Buddha mengajarkan untuk menghormati kehidupan, sehingga banyak orang mulai menghindari konsumsi daging.

Pada abad ke-7, Kaisar Tenmu mengeluarkan dekrit resmi yang melarang konsumsi daging, termasuk sapi, kuda, anjing, ayam, dan monyet. Larangan ini berlaku selama musim pertanian, dari April hingga September. Namun, dalam perkembangannya, larangan ini diperluas dan akhirnya menjadi aturan yang berlaku sepanjang tahun. Ini juga didukung oleh ajaran Shinto, agama asli Jepang, yang menekankan kesucian dan keharmonisan alam.

"Larangan makan daging ini bukan hanya berkaitan dengan agama, tetapi juga faktor praktis. Jepang adalah negara kepulauan dengan keterbatasan lahan, sehingga masyarakat lebih mengandalkan ikan sebagai sumber protein utama," jelas Ishige.

Perubahan Pandangan: Dari Tabu Menjadi Budaya

Meskipun makan daging sapi tetap dianggap tabu selama berabad-abad, pada abad ke-18, daging sapi mulai diterima sebagai makanan yang memiliki khasiat kesehatan. Bahkan beberapa biksu Buddha kadang diperbolehkan makan daging atas perintah dokter. Seiring berjalannya waktu, terutama pada masa Pemerintahan Meiji, kebijakan mengenai konsumsi daging berubah. Pemerintah Meiji mulai menghilangkan pantangan tersebut, bahkan mendirikan perusahaan untuk memproduksi daging dan produk susu.

Pada tahun 1872, Kaisar Meiji secara resmi makan daging sapi sebagai bagian dari perayaan Tahun Baru. Tindakan ini mengubah pandangan masyarakat Jepang mengenai konsumsi daging, dan akhirnya menginspirasi banyak orang untuk mengikuti langkah sang Kaisar. "Kaisar Meiji makan daging sapi sebagai bentuk perayaan, yang secara perlahan meyakinkan masyarakat untuk melanggar kebiasaan lama," tambah Ishige.

Daging Sapi Sebagai Obat dan Tradisi

Meskipun daging sapi akhirnya mulai diterima, ada tradisi unik yang berkembang di masyarakat Jepang. Daging sapi sering dianggap sebagai makanan khusus yang memiliki khasiat obat. Pada abad ke-18, Klan Hikone mengirimkan acar daging sapi dengan sake sebagai hadiah tahunan kepada shogun, yang dianggap sebagai bentuk pengobatan.

Namun, meskipun daging sapi tidak lagi dianggap sepenuhnya terlarang, tetap ada peraturan ketat yang mengharuskan seseorang yang mengonsumsi daging tertentu untuk bertobat. Misalnya, jika seseorang makan daging kambing liar, serigala, kelinci, atau anjing rakun, mereka harus bertobat selama lima hari sebelum mengunjungi kuil. Sementara itu, bagi pemakan daging sapi atau kuda, mereka harus menjalani masa pertobatan yang lebih lama, yakni hingga 150 hari.

Era Baru Daging Sapi di Jepang

Sekarang, daging sapi Jepang, terutama wagyu dan kobe, sudah menjadi salah satu komoditas paling bernilai. Daging wagyu yang lembut, berlemak, dan memiliki marbling indah kini banyak disajikan di restoran-restoran kelas atas di seluruh dunia. "Jepang kini dikenal sebagai penghasil daging sapi berkualitas tinggi, terutama wagyu yang terkenal dengan kelezatannya," kata Ishige.

Daging sapi yang dulu dianggap tabu kini bukan hanya menjadi makanan sehari-hari, tetapi juga simbol kemewahan dan kualitas tinggi dalam kuliner Jepang. Perubahan ini menunjukkan bagaimana tradisi dan kepercayaan dapat berubah seiring berjalannya waktu, seiring dengan adaptasi terhadap kebutuhan dan budaya baru yang berkembang dalam masyarakat.

"Makan daging sapi di Jepang telah melalui perjalanan panjang, dari yang dianggap terlarang hingga akhirnya menjadi makanan yang dihargai di seluruh dunia," tutup Ishige. Kini, daging sapi adalah bagian integral dari budaya kuliner Jepang yang telah mendunia, dengan kualitas yang tak tertandingi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index