JAKARTA – Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) melemah signifikan setelah DPR AS yang dikuasai Partai Republik resmi meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak dan belanja yang diajukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. RUU ini mengusung agenda populis yang berpotensi mengubah lanskap ekonomi dan investasi global, termasuk pasar saham di Indonesia.
RUU tersebut memuat janji pemotongan pajak bagi individu dan korporasi, peningkatan anggaran militer, serta pengetatan pengawasan perbatasan. Namun, di sisi lain, RUU ini juga akan menghapus berbagai insentif energi bersih yang sebelumnya digagas pada masa pemerintahan Presiden Joe Biden.
Setelah mendapat persetujuan di DPR, RUU ini akan melanjutkan pembahasan di Senat AS yang juga dikuasai Partai Republik. Mengingat dukungan mayoritas di kedua lembaga legislatif, peluang RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat sangat besar.
Dampak Jangka Panjang: Utang AS Meningkat Hingga USD 3,8 Triliun
Namun, langkah legislatif ini membawa konsekuensi fiskal yang berat. Dalam proyeksi jangka panjang, RUU pajak ini diperkirakan akan menambah utang pemerintah AS sekitar USD 3,8 triliun selama satu dekade ke depan.
“RUU tersebut akan menambah utang pemerintah AS sebesar sekitar 3,8 triliun dolar AS dalam 1 dekade ke depan, yang meningkatkan kekhawatiran investor terhadap tingkat solvabilitas AS,” ungkap riset dari Stockbit Sekuritas.
Kenaikan beban utang ini langsung berimbas pada kepercayaan pasar keuangan global, yang mulai menunjukkan reaksi negatif. Lembaga pemeringkat Moody’s bahkan menurunkan rating kredit pemerintah AS dari Aaa ke Aa1, penurunan pertama sejak 1917. Sebelumnya, Fitch dan Standard & Poor’s juga sudah menurunkan peringkat utang AS pada tahun-tahun sebelumnya.
Pelemahan Dolar AS dan Penguatan Rupiah
Reaksi pasar terlihat jelas dari pergerakan indeks dolar AS (DXY) yang turun 0,6% ke level 99,36 pada perdagangan. Sejak awal tahun, DXY telah terkoreksi hingga 8,4% secara year-to-date (YTD), menandakan pelemahan dolar yang cukup dalam.
Sementara itu, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat stagnan di level 4,528%, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek fiskal jangka panjang Negeri Paman Sam.
Di sisi lain, rupiah justru menunjukkan penguatan signifikan terhadap dolar AS, naik 0,67% ke level Rp16.217 per dolar AS. Hal ini disambut positif oleh pasar saham domestik yang ditandai dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 0,66% ke 7.214,16, didukung oleh masuknya aliran dana asing (foreign inflow) sebesar Rp589 miliar.
“Tren pelemahan dolar AS diproyeksikan dapat mendorong penguatan nilai tukar rupiah bahkan ke level di bawah Rp16.000 pada kuartal IV 2025,” jelas tim riset Stockbit Sekuritas.
Saham Potensial di Tengah Penguatan Rupiah dan Pelemahan Dolar
Penguatan rupiah memberikan sinyal positif bagi pasar saham Indonesia. Saham-saham sektor perbankan besar seperti Bank Central Asia (BBCA), Bank Mandiri (BMRI), Bank Negara Indonesia (BBNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) diprediksi akan mendapat dorongan kuat dari berlanjutnya aliran modal asing ke IHSG.
Selain sektor perbankan, emiten yang memiliki eksposur tinggi terhadap impor dan utang dalam dolar AS juga akan diuntungkan. Emiten seperti Indofood CBP (ICBP), Kalbe Farma (KLBF), dan Mitra Adiperkasa (MAPI) masuk dalam daftar saham yang paling sensitif terhadap pergerakan nilai tukar.
“Secara kinerja, penguatan rupiah akan berdampak positif terhadap emiten yang memiliki porsi impor dan utang dolar AS yang besar, seperti ICBP, KLBF, dan MAPI,” tulis tim riset Stockbit dalam analisis mereka.
Penguatan rupiah berpotensi menekan biaya impor sekaligus beban keuangan perusahaan yang selama ini terikat utang dalam mata uang asing, sehingga margin keuntungan bisa meningkat secara signifikan.
IHSG Tumbuh, Kapitalisasi Pasar Naik
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa IHSG selama pekan lalu berhasil menguat sebesar 1,51% ke level 7.214,16. Kapitalisasi pasar pun naik menjadi Rp12.561 triliun, meningkat 1,97% dibandingkan pekan sebelumnya yang sebesar Rp12.318 triliun.
Meski terjadi kenaikan indeks dan kapitalisasi, volume perdagangan saham justru mengalami penurunan, dari 150,14 miliar saham menjadi 113,88 miliar saham dalam seminggu. Nilai transaksi mingguan juga turun 12,51% menjadi Rp72,6 triliun dengan frekuensi perdagangan harian menyusut 4,46%.
Waspada dan Bijak dalam Berinvestasi
Meski ada peluang keuntungan dari pelemahan dolar dan penguatan rupiah, investor tetap diingatkan untuk berhati-hati dan melakukan analisis mendalam sebelum mengambil keputusan investasi.
“Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham,” pesan pihak Liputan6.com, menegaskan bahwa risiko investasi tetap ada dan tanggung jawab berada pada investor sendiri.
Pengesahan RUU pajak dan belanja oleh DPR AS di bawah pemerintahan Trump membawa dampak besar pada nilai dolar AS yang melemah signifikan. Kondisi ini mendorong penguatan rupiah dan memberikan sentimen positif bagi pasar saham Indonesia, terutama saham perbankan dan emiten dengan beban impor serta utang dolar tinggi. Namun, investor tetap harus berhati-hati dalam mengambil keputusan agar dapat memaksimalkan potensi keuntungan dengan risiko yang terkendali.