JAKARTA — Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang dirilis oleh PT PLN (Persero) menuai kritik tajam dari kalangan pemerhati energi. Salah satunya datang dari Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, yang menilai bahwa dokumen strategis tersebut justru memperkuat ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, terutama batu bara dan gas alam.
Dalam RUPTL terbaru, PLN merencanakan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil yakni batu bara dan gas sebesar total 16,6 gigawatt (GW) untuk kurun waktu 2025 hingga 2034. Langkah ini dipandang bertolak belakang dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dan mempercepat transisi menuju energi bersih.
Kekhawatiran Terhadap Ketergantungan Jangka Panjang
Sartika Nur Shalati menyampaikan bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) berpotensi menjerat Indonesia dalam jebakan ketergantungan struktural dan ekonomi terhadap energi kotor, mengingat usia operasional PLTG yang panjang dan infrastruktur penunjangnya yang kompleks serta mahal.
“Ketika proyek infrastruktur gas sudah dibangun dan modal besar sudah tertanam (sunk cost), sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutupnya sebelum akhir umur teknisnya, kecuali dengan kompensasi besar,” ujar Sartika dalam pernyataan tertulis yang diterima Selasa, 27 Mei 2025.
Ia menjelaskan bahwa PLTG, yang biasanya memiliki umur teknis antara 25 hingga 30 tahun, akan selalu diikuti oleh proyek-proyek infrastruktur pendukung seperti pembangunan pipa gas, terminal LNG, kontrak pasokan jangka panjang, hingga subsidi pemerintah melalui skema harga gas bumi tertentu (HGBT). Seluruh ekosistem ini, menurutnya, menciptakan insentif kuat untuk mempertahankan penggunaan gas alam meskipun sudah tidak relevan dengan target iklim nasional.
Dominasi Batu Bara Masih Jadi Masalah Besar
Lebih lanjut, Sartika juga mengkritisi rencana penambahan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) berbahan bakar batu bara dalam RUPTL. Saat ini, PLTU masih mendominasi sistem kelistrikan nasional dengan porsi lebih dari 70 persen dari total kapasitas terpasang, dan penambahan baru justru akan memperpanjang ketergantungan terhadap batu bara.
“Menambah PLTU dalam RUPTL hari ini, sama seperti menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Di saat kita harus keluar dari dominasi batu bara, RUPTL justru memberi ruang baru,” tegasnya.
Ia menilai kebijakan ini kontraproduktif, apalagi di saat banyak negara lain berlomba-lomba menurunkan emisi karbon melalui peningkatan energi terbarukan dan pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Sartika juga menyinggung keberadaan captive power, yaitu pembangkit listrik batu bara yang digunakan untuk keperluan industri secara langsung tanpa melalui jaringan PLN. Ia menyebut bahwa meskipun secara formal tidak masuk dalam grid PLN, keberadaan PLTU captive power tetap berkontribusi besar terhadap emisi dan memperparah krisis iklim.
“Tanpa tambahan sekalipun dalam grid PLN, PLTU tetap tumbuh diam-diam lewat captive power,” lanjutnya.
Dampak Sosial dan Ekonomi di Daerah
Kritik terhadap RUPTL juga menyasar pada dampaknya terhadap pembangunan berkelanjutan di daerah. Menurut CERAH, rencana ini menghambat proses diversifikasi ekonomi di wilayah yang selama ini menggantungkan hidupnya pada industri batu bara.
“Jika PLTU terus ditambah, maka pemerintah daerah terutama yang ekonominya bergantung pada batu bara semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak,” ucap Sartika.
Dengan tetap mengandalkan batu bara dalam peta jalan kelistrikan nasional, daerah-daerah penghasil batu bara akan makin sulit keluar dari ketergantungan ekonomi terhadap komoditas yang tidak berkelanjutan tersebut. Hal ini berpotensi menciptakan krisis ekonomi jangka panjang, terutama jika permintaan global terhadap batu bara semakin menurun.
Terjebak dalam Pola Lama
CERAH menyebut bahwa keputusan pemerintah untuk tetap memasukkan PLTU dan PLTG dalam RUPTL mencerminkan kegagalan untuk keluar dari pola pembangunan lama yang berbasis pada energi fosil. Keputusan ini dinilai tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kredibilitas Indonesia dalam forum-forum internasional terkait iklim.
“Ini menciptakan insentif untuk mempertahankan operasi fosil lebih lama dari yang ideal dalam skenario iklim. Jika itu terjadi, lagi-lagi, kita hanya akan mengulang apa yang hari ini kita hadapi di sektor batu bara terkait sulitnya mengakhiri ketergantungan pada ekosistem PLTU yang sudah terlanjur dibangun,” pungkas Sartika.
Dengan komitmen Indonesia terhadap target net zero emission pada 2060 dan rencana pemerintah untuk meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) hingga 23 persen pada 2025, isi RUPTL terbaru ini dianggap bertentangan dengan arah kebijakan nasional dan internasional.
Seruan Untuk Revisi RUPTL dan Percepat Energi Terbarukan
Sejumlah kalangan kini mendesak agar RUPTL 2025–2034 direvisi dan lebih berpihak pada transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah diharapkan memperbesar porsi energi terbarukan seperti surya, angin, panas bumi, dan hidro, sekaligus menghentikan rencana pembangunan pembangkit berbasis fosil baru.
Selain itu, pembentukan kebijakan energi nasional harus mencerminkan kebutuhan generasi masa depan, dengan mengedepankan aspek keberlanjutan dan keberpihakan terhadap lingkungan serta masyarakat terdampak.
Antara Visi Hijau dan Realitas Fosil
RUPTL PLN 2025–2034 kembali membuka perdebatan besar mengenai arah kebijakan energi Indonesia. Di satu sisi, pemerintah menyuarakan komitmen terhadap transisi energi dan pengurangan emisi. Namun di sisi lain, rencana konkret yang disusun masih sangat bergantung pada batu bara dan gas alam.
Ketidaksesuaian antara narasi transisi energi dengan rencana pembangunan nyata seperti ini berpotensi menghambat langkah Indonesia dalam mewujudkan ekonomi hijau yang inklusif dan rendah karbon.
Jika Indonesia ingin benar-benar memimpin di panggung global dalam isu perubahan iklim, maka arah pembangunan energi harus berani berpindah dari energi fosil menuju energi terbarukan bukan sebaliknya.