JAKARTA — Tren egg freezing atau pembekuan sel telur semakin diminati perempuan Indonesia, terutama mereka yang ingin menunda kehamilan dan mempersiapkan masa depan secara lebih matang. Prosedur ini memungkinkan sel telur dibekukan dan disimpan hingga saat perempuan siap untuk memiliki anak. Namun, muncul pertanyaan penting, terutama bagi perempuan di atas usia 35 tahun, apakah egg freezing memberikan dampak tertentu bagi kesehatan dan keberhasilan kehamilan di masa mendatang?
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi, dr. Yassin Yanuar Mohammad, Sp.OG (K) FER, M.Sc, memberikan penjelasan komprehensif mengenai prosedur dan risiko yang mungkin dihadapi perempuan yang melakukan egg freezing, khususnya yang sudah berusia lebih dari 35 tahun.
Apa Itu Egg Freezing dan Bagaimana Prosedurnya?
Menurut dr. Yassin, egg freezing merupakan bagian dari teknologi fertilisasi in vitro (bayi tabung) yang bertujuan menyimpan sel telur untuk digunakan di kemudian hari.
"Sel telur yang sudah dibekukan akan dipertemukan dengan sel sperma di luar tubuh untuk mendapatkan embrio yang kemudian ditanam di dalam rahim perempuan," jelasnya.
Prosedur ini melibatkan pengambilan sel telur yang kemudian dibekukan (freezing) dan disimpan dalam suhu rendah. Saat perempuan tersebut siap hamil, sel telur akan dicairkan (thawing), lalu dibuahi dengan sperma dalam proses fertilisasi in vitro.
"Tidak hanya sel telur, sel sperma juga bisa dibekukan untuk keperluan serupa," tambahnya.
Indikasi Medis dan Sosial dalam Egg Freezing
Egg freezing awalnya dikembangkan untuk tujuan medis, terutama bagi perempuan yang menghadapi risiko kehilangan kesuburan akibat penyakit berat seperti kanker dan menjalani kemoterapi atau radioterapi.
"Egg freezing dilakukan sebelum menjalani terapi yang berisiko mematikan sel telur di dalam tubuh. Ini bagian dari preservasi kesuburan atau fertility preservation," kata dr. Yassin.
Selain indikasi medis, saat ini egg freezing juga banyak dilakukan atas alasan sosial, khususnya bagi perempuan yang belum siap menikah atau ingin menunda memiliki anak karena berbagai alasan gaya hidup dan karier.
"Di luar negeri, teknologi ini sudah banyak digunakan karena faktor gaya hidup yang membuat perempuan memilih mengutamakan hal lain selain menikah dan punya anak," jelasnya.
Risiko Kehamilan Setelah Usia 35 Tahun
Salah satu kekhawatiran utama adalah risiko kesehatan bagi perempuan yang hamil di atas usia 35 tahun, baik secara alami maupun menggunakan sel telur beku.
"Risiko keguguran atau komplikasi kehamilan meningkat pada usia 35 tahun ke atas. Komplikasi seperti kehamilan diabetes, hipertensi, kelahiran prematur, dan pertumbuhan janin terhambat cenderung lebih sering terjadi," ungkap dr. Yassin.
Meski demikian, dokter ini menegaskan bahwa usia bukanlah penghalang untuk hamil, melainkan sebuah sinyal untuk melakukan persiapan dan antisipasi kesehatan yang lebih baik.
"Ini bukan berarti orang usia 35 tahun ke atas tidak boleh hamil, tapi kita harus menyiapkan langkah antisipasi atau persiapan prakonsepsi yang baik," tegasnya.
Kualitas Sel Telur dan Keberhasilan Prosedur Egg Freezing
Dr. Yassin menyoroti bahwa keberhasilan egg freezing sangat dipengaruhi oleh kualitas sel telur yang dibekukan, yang biasanya lebih baik saat perempuan masih berusia 20-an dibandingkan usia 40-an.
"Kualitas sel telur yang dibekukan saat usia 20 tahunan tentu berbeda dengan yang diambil pada usia 40 tahunan," jelasnya.
Selain proses pembekuan itu sendiri, persiapan pra-kehamilan dan pengendalian faktor risiko kesehatan pada usia lebih dari 35 tahun sangat krusial agar proses kehamilan dan kelahiran berjalan lancar.
"Faktor risiko yang terkait dengan kondisi medis harus dikontrol agar tidak memperburuk kondisi kehamilan," ujar dr. Yassin.
Saran Dokter untuk Perempuan yang Ingin Melakukan Egg Freezing
Mengingat prosedur ini masih relatif baru dan memerlukan pemahaman mendalam, dr. Yassin menekankan pentingnya konsultasi dengan dokter spesialis sebelum memutuskan menjalani egg freezing.
"Setiap perempuan yang ingin menjalani egg freezing harus mencari tahu informasi lengkap dan berkonsultasi dengan dokter untuk memastikan prosedur ini tepat bagi dirinya," pesannya.
Menurutnya, egg freezing memang lebih berhasil jika dilakukan pada usia lebih muda, tapi keputusan kapan waktu yang tepat adalah pilihan individu masing-masing.
"Bukan berarti harus egg freezing saat muda, tapi semua itu pilihan masing-masing," pungkas dr. Yassin.
Egg freezing menjadi solusi bagi perempuan yang ingin menunda kehamilan tanpa kehilangan peluang memiliki anak di masa depan. Meski prosedur ini semakin mudah diakses di Indonesia, terutama di rumah sakit dan klinik kesuburan, pemahaman akan risiko dan manfaatnya sangat penting, khususnya bagi perempuan usia di atas 35 tahun.
Risiko kehamilan terkait usia harus menjadi perhatian, bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai motivasi untuk mempersiapkan kesehatan secara optimal. Dengan konsultasi yang tepat dan pengelolaan risiko yang baik, perempuan tetap bisa menjalani proses kehamilan dengan aman dan sukses melalui prosedur ini.