JAKARTA — Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara yang seharusnya menjadi alat utama dalam memutus rantai kemiskinan dan membangun masyarakat yang adil dan setara. Namun, kenyataannya, akses dan kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat timpang. Di balik jargon “Pendidikan untuk Semua,” masih ada kesenjangan yang mencolok antara kota dan desa, pusat dan pinggiran, serta antara kelompok kaya dan miskin.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan survei internasional PISA, siswa di daerah terpencil mengalami kesulitan besar, mulai dari keterbatasan infrastruktur sekolah, kekurangan guru, hingga akses teknologi yang minim. Sementara itu, anak-anak di kota besar menikmati fasilitas lengkap, guru berkualitas, serta berbagai pelatihan tambahan.
“Anak-anak di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) seringkali menghadapi tantangan serius yang tidak dialami oleh siswa di kota-kota besar. Ini bukan hanya soal akses fisik, tapi juga soal kualitas dan peluang yang diterima,” ujar seorang pengamat pendidikan yang enggan disebutkan namanya.
Selain itu, kelompok rentan seperti anak dari keluarga miskin, penyandang disabilitas, dan komunitas adat seringkali tersisih dari sistem pendidikan arus utama. Mereka menghadapi diskriminasi sosial dan kultural yang membuat akses pendidikan semakin sulit.
Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional: Masih Banyak PR untuk Pemerintah
Pemerintah Indonesia sudah meluncurkan berbagai program untuk mendorong pemerataan pendidikan, antara lain Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), kebijakan zonasi, dan digitalisasi pembelajaran. Namun, efektivitas program-program ini kerap dipertanyakan.
Misalnya, program zonasi sekolah yang bertujuan menghapus sistem kasta sekolah unggulan, justru dalam praktiknya memperkuat segregasi sosial. “Siswa dari keluarga mampu tetap dapat akses ke sekolah favorit karena tinggal di lokasi strategis. Sebaliknya, siswa miskin yang tinggal di area kurang strategis terpinggirkan,” kata pengamat sosial dari Lembaga Studi Pendidikan Nasional (LSPN), Andi Prasetyo.
Digitalisasi pembelajaran yang digalakkan juga belum menyentuh daerah 3T secara maksimal karena keterbatasan akses internet dan perangkat belajar. Akibatnya, program ini lebih menguntungkan siswa yang sudah memiliki fasilitas lengkap.
Reorientasi Kebijakan: Solusi untuk Pendidikan yang Lebih Merata dan Inklusif
Para ahli dan praktisi pendidikan sepakat bahwa sudah saatnya pemerintah melakukan reorientasi kebijakan pendidikan secara menyeluruh. Tidak cukup hanya menambah program baru, tapi mengubah paradigma dan arah kebijakan secara fundamental.
Pertama, redistribusi guru dan fasilitas harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu memberikan insentif yang layak dan menarik agar guru berkualitas mau mengajar di daerah 3T.
“Pemerintah harus berani memberikan insentif kompetitif, mulai dari tunjangan hingga fasilitas penunjang agar guru bisa bertahan dan berkontribusi di wilayah yang paling membutuhkan,” tegas Rosita Sari, akademisi dan penggiat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia.
Selain itu, peningkatan kualitas infrastruktur sekolah, perpustakaan, dan akses teknologi harus merata. Hal ini menjadi fondasi agar pembelajaran bisa berjalan optimal.
Kedua, pendidikan vokasional harus diperkuat dan disesuaikan dengan potensi lokal. Alih-alih memaksakan standar nasional yang seragam, pendidikan kejuruan dapat diarahkan untuk membekali siswa dengan keterampilan kerja yang relevan dengan kondisi sosial ekonomi setempat.
“Pendidikan vokasional berbasis lokal adalah kunci membuka peluang kerja bagi anak-anak dari keluarga miskin di daerah pedesaan,” kata Rosita.
Ketiga, digitalisasi pendidikan harus dirancang inklusif. Pemerintah perlu menyediakan perangkat belajar gratis atau bersubsidi dan memperluas akses internet ke pelosok negeri agar seluruh siswa mendapat kesempatan yang sama.
Keempat, kurikulum pendidikan harus bersifat kontekstual dan menghargai kearifan lokal. Misalnya, anak-anak di Papua tidak harus belajar dengan standar dan materi yang sama persis dengan anak-anak di Jakarta.
“Materi ajar yang menghargai budaya dan lingkungan lokal tidak hanya meningkatkan rasa percaya diri siswa, tapi juga membantu melestarikan identitas budaya bangsa yang beragam,” terang Rosita.
Kelima, partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan kebijakan pendidikan perlu diperkuat. Tanpa keterlibatan aktif publik, kebijakan hanya akan berputar dalam lingkaran birokrasi tanpa menyentuh akar masalah.
Jalan Menuju Keadilan Sosial
Pendidikan harus menjadi kendaraan utama untuk mewujudkan keadilan sosial. Namun, jika arah kebijakan nasional masih berfokus pada pendekatan teknokratis tanpa keberpihakan terhadap kelompok paling tertinggal, maka ketimpangan hanya akan diwariskan dari generasi ke generasi.
Reorientasi kebijakan pendidikan bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk membangun Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan. Dengan komitmen yang kuat, keberanian politik, dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat, pendidikan untuk semua bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan yang mampu menghapus ketimpangan sosial dari akar-akarnya.