JAKARTA – Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, kembali menegaskan pentingnya penegakan batas waktu pemeriksaan pajak sesuai ketentuan undang-undang. Menurutnya, Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan setelah melewati batas waktu yang diatur secara hukum harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Pernyataan tegas ini disampaikan Rinto dalam Seminar Nasional Pajak yang digelar di Hariston Hotel & Suites, Jakarta Utara. Seminar tersebut menjadi forum kritik terhadap interpretasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang selama ini menganggap SKP tetap sah meski proses pemeriksaan pajak berlangsung melebihi batas waktu yang ditentukan.
“Ketika DJP menyatakan SKP tidak bisa dibatalkan walau melewati batas waktu pemeriksaan, itu sama saja dengan mengatakan DJP boleh melanggar Undang-Undang dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang jelas-jelas mengatur hal itu. Ini preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan,” tegas Rinto dalam sambutannya.
Batas Waktu Pemeriksaan Pajak: Sebuah Prinsip Hukum yang Tak Bisa Ditawar
Rinto menjelaskan bahwa pemeriksaan pajak bukan hanya proses administratif internal, melainkan bagian dari proses hukum yang harus mengikuti ketentuan hukum prosedural dan materiil. Ia mengutip Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) serta Pasal 15 ayat (2) PMK Nomor 17 Tahun 2013 yang secara tegas menetapkan batas waktu maksimal enam bulan untuk pemeriksaan lapangan.
“Negara ini adalah negara hukum, bukan negara kinerja. Yang dijadikan tolok ukur adalah hukum, bukan target administratif. Jika kita mengabaikan aturan main, maka keadilan perpajakan tidak akan pernah tercapai,” lanjut Rinto.
Dukungan Para Praktisi dan Pengawas: Maladministrasi dan Cacat Prosedur
Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), Alessandro Rey, juga menegaskan bahwa batas waktu pemeriksaan adalah syarat hukum yang mengikat dan bukan sekadar alat manajemen internal DJP. Ia merujuk pada Pasal 66 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa keputusan administratif bisa dibatalkan jika cacat prosedur atau melanggar kewenangan.
“Jika SKP diterbitkan dari proses pemeriksaan yang cacat, maka produk hukumnya pun cacat. Tidak boleh ada pembenaran atas pelanggaran hukum hanya karena institusi tersebut adalah negara,” ujar Alessandro.
Senada dengan itu, anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menilai bahwa pemeriksaan pajak yang melewati batas waktu merupakan bentuk maladministrasi yang harus dihindari. Menurutnya, seluruh layanan publik termasuk pemeriksaan pajak wajib mematuhi regulasi dan prinsip transparansi.
“Kalau melewati batas waktu, itu maladministrasi. Regulasi itu mengikat ke dalam dan ke luar, bukan hanya untuk kinerja internal,” kata Yeka.
Selain itu, Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Pajak Indonesia (Perkoppi), Gilbert Rely, mengingatkan bahwa jika undang-undang dan PMK hanya dijadikan indikator kinerja pegawai tanpa memperhatikan hak wajib pajak, maka substansi hukum telah diselewengkan.
“Apakah kita hanya menulis hukum untuk dibaca pegawai pajak, tapi tidak untuk melindungi warga negara? Jika begitu, kita sedang berjalan mundur dari prinsip negara hukum,” tutur Gilbert.
Mendorong Reformasi Perpajakan yang Berkeadilan dan Transparan
Sebagai penutup, Rinto menyerukan agar pemerintah dan aparat penegak hukum tidak membiarkan penafsiran sepihak yang merugikan prinsip negara hukum dan keadilan perpajakan. Menurutnya, reformasi perpajakan harus mengedepankan kepastian hukum, keadilan, dan transparansi, bukan hanya mengejar target penerimaan negara.
“IWPI mendorong reformasi perpajakan yang tidak hanya fokus pada penerimaan negara, tetapi juga menjunjung tinggi keadilan, kepastian hukum, dan transparansi. Jika pemeriksaan pajak bisa dilakukan sesuka hati tanpa batas waktu dan tetap sah, maka itu bukan reformasi pajak, tapi regresi hukum,” pungkas Rinto.
Implikasi bagi Wajib Pajak dan Sistem Perpajakan Nasional
Kasus penerbitan SKP yang melewati batas waktu tidak hanya berdampak pada hak wajib pajak tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan iklim investasi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan nasional. Penegakan aturan batas waktu ini menjadi krusial agar proses pemeriksaan berjalan sesuai aturan dan menghasilkan keputusan yang adil.
Isu batas waktu pemeriksaan pajak yang berlarut-larut dan penerbitan SKP di luar ketentuan hukum menjadi sorotan serius dari para praktisi pajak dan pengawas publik. Rinto Setiyawan dan sejumlah narasumber menegaskan bahwa kepastian hukum harus ditegakkan demi perlindungan hak wajib pajak sekaligus menjamin keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.
Penegakan batas waktu pemeriksaan pajak yang sesuai dengan UU KUP dan PMK diharapkan menjadi langkah konkret pemerintah dalam mereformasi sistem perpajakan yang lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada keadilan hukum.