Artis

Artis Gen Z Alika dan Nayla Tantang Diri Perankan Perempuan Jawa Kuno dalam Film Gowok: Kamasutra Jawa

Artis Gen Z Alika dan Nayla Tantang Diri Perankan Perempuan Jawa Kuno dalam Film Gowok: Kamasutra Jawa
Artis Gen Z Alika dan Nayla Tantang Diri Perankan Perempuan Jawa Kuno dalam Film Gowok: Kamasutra Jawa

JAKARTA  – Dua aktris muda berbakat generasi Z, Alika Jantinia dan Nayla Purnama, berbagi pengalaman unik mereka saat mendalami peran sebagai perempuan Jawa kuno dalam film terbaru garapan sutradara kenamaan Hanung Bramantyo berjudul "Gowok: Kamasutra Jawa". Film ini mengambil latar era 1950-an dan menampilkan ragam tradisi, budaya, dan relasi sosial perempuan Jawa masa lampau yang sarat nilai historis dan filosofis.

Dalam kunjungan promosi film ke Surabaya, Alika dan Nayla membagikan kisah di balik layar proses produksi film yang tidak hanya menantang secara teknis, tetapi juga memperkaya pemahaman mereka akan budaya dan tradisi Jawa.

Adaptasi Gen Z dalam Dunia Tradisi Jawa

Alika Jantinia memerankan karakter Ratri muda, seorang perempuan yang hidup dalam lingkungan aristokrat Jawa. Tantangan terberat baginya adalah bagaimana mengendalikan bahasa tubuh sebagai perempuan Jawa tradisional yang harus tunduk pada norma sosial dan relasi kekuasaan dengan kaum bangsawan atau priyayi.

"Aku pas baca skrip ini kok kompleks banget, insightful banget, dan menurutku ini film perempuan untuk laki-laki. Jadi menarik banget ceritanya dibawain," ujar Alika.

Menurut Alika, film ini bukan hanya berkisah tentang relasi cinta atau seksualitas semata, tapi juga menyuarakan narasi perempuan di tengah struktur sosial yang patriarkal. Ia merasa beruntung bisa mendapatkan pelajaran soal peran perempuan, seksualitas, bahasa, dan pendalaman emosi lewat karakter yang diperankannya.

Pendalaman Dialek dan Gestur Tradisional

Sebagai bagian dari proses pendalaman karakter, para pemain juga dituntut untuk mempelajari bahasa Jawa Ngapak, sebuah dialek khas dari wilayah Banyumasan. Proses syuting yang berlangsung selama hampir satu bulan di Yogyakarta dimanfaatkan secara maksimal untuk pelatihan dialek dan budaya lokal.

“Lumayan dalam prosesnya dan didatangkan juga orang Purbalingga asli yang menemani kami pada saat belajar dialek,” ujar Alika.

Namun tantangan terbesar, menurutnya, bukan hanya bahasa. Gestur tubuh sebagai perempuan Jawa kuno yang penuh tata krama menjadi latihan tersendiri.

"Aku juga kan Gen Z yang biasa (tubuhnya) bergerak semua, sedangkan sosok Ratri tidak seperti itu. Apalagi berhadapan dengan priyayi yang beda kasta, harus merunduk, bersimpuh, ngomong pun tidak boleh banyak gerak tubuh. Jadi itu sih, kita jadi banyak tahu tentang tradisi," jelas dara kelahiran 2001 ini.

Nayla Purnama: Tantangan Pertama Main Film Periode

Hal serupa juga dirasakan oleh Nayla Purnama, yang memerankan karakter Sri, anak angkat dari tokoh Nyai Santi dalam film. Ia mengaku film ini merupakan proyek pertamanya yang berlatar belakang tahun 1960-an. Sebagai seorang aktris muda, Nayla mengaku sempat asing dengan konsep Gowok, tetapi rasa ingin tahu membawanya pada pemahaman baru tentang peran perempuan dalam masyarakat Jawa kuno.

“Aku kan Gen Z, awalnya enggak tahu Gowok itu apa, terus cari tahu. Banyak ilmu juga yang aku dapatkan, terutama bagaimana kita berhadapan sama bangsawan. Gestur tubuh, matanya enggak boleh lihat langsung, dan bersimpuh lama. Akhirnya tahu dan banyak ilmu baru,” ujarnya.

Bagi Nayla, pengalaman ini menjadi lompatan dalam karier aktingnya, sekaligus membantunya memahami bagaimana nilai-nilai budaya yang kental bisa tetap relevan jika disampaikan dengan konteks yang tepat.

Sinergi Budaya dan Perfilman

Film Gowok: Kamasutra Jawa diproduksi oleh dua rumah produksi besar, MVP Pictures dan Dapur Film, yang sebelumnya sukses menghadirkan film-film dengan muatan budaya tinggi. Selain Alika dan Nayla, film ini juga dibintangi oleh nama-nama besar dalam perfilman Indonesia seperti Reza Rahadian, Raihaanun, Donny Damara, Lola Amaria, Djenar Maesa Ayu, dan aktor legendaris Slamet Rahardjo.

Melalui film ini, Hanung Bramantyo kembali mengangkat isu-isu sosial dan budaya dengan pendekatan sinematik yang kuat. Sejak awal, film ini tidak hanya diniatkan sebagai tontonan, melainkan sebagai sarana edukasi budaya yang dikemas secara emosional dan visual.

Film Edukatif dengan Isu Sosial Sensitif

Meski mengangkat tema yang cukup berani, yakni tentang Gowok  sebuah tradisi kuno yang melibatkan relasi perempuan dan laki-laki dalam struktur sosial tertentu – film ini tidak disajikan sebagai tontonan vulgar. Sebaliknya, pendekatan yang diambil sangat kultural, edukatif, dan penuh nuansa sejarah.

“Aku pribadi merasa film ini menyampaikan pesan yang sangat kuat dari sudut pandang perempuan. Ini bukan hanya film tentang seksualitas, tapi tentang bagaimana perempuan Jawa dulu dihadapkan pada situasi sosial yang rumit dan bagaimana mereka tetap kuat menjalani hidupnya,” tambah Alika.

Film ini juga memberikan ruang kepada penonton, terutama generasi muda, untuk melihat ulang nilai-nilai lokal dan tradisi yang barangkali selama ini belum pernah mereka pelajari secara mendalam.

Potensi Film Sejarah dan Budaya untuk Generasi Muda

Melibatkan aktor muda seperti Alika dan Nayla dalam film berlatar sejarah bukanlah keputusan tanpa alasan. Hanung Bramantyo ingin menjembatani antara generasi muda yang hidup di era digital dengan kekayaan budaya masa lalu yang penuh filosofi. Melalui pendekatan ini, para aktor muda diharapkan bisa menjadi medium penyampai nilai tradisional dalam bahasa yang relevan dengan zaman.

Dengan kehadiran dua aktris Gen Z ini, film Gowok: Kamasutra Jawa memiliki potensi menjangkau lebih banyak penonton muda yang selama ini kurang terekspos pada cerita-cerita berlatar budaya lokal.

Karya Sinema, Ruang Edukasi Budaya

Melalui Gowok: Kamasutra Jawa, dunia perfilman Indonesia kembali menegaskan posisinya sebagai ruang untuk menghidupkan dan merefleksikan budaya, bukan sekadar hiburan semata. Kisah-kisah tentang perempuan Jawa kuno, dalam segala kompleksitas sosial dan emosionalnya, dihidupkan kembali oleh generasi muda seperti Alika dan Nayla yang dengan penuh semangat mendalami peran mereka.

Film ini menjadi bukti bahwa sinema bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara generasi yang hidup dalam tradisi dan generasi yang tumbuh dalam dunia digital, namun tetap bisa saling belajar dan menghargai nilai-nilai luhur bangsa.

Dengan demikian, Gowok: Kamasutra Jawa bukan hanya sebuah karya film, tapi juga sebuah proyek budaya lintas generasi yang sarat makna dan relevansi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index