JAKARTA – Indonesia saat ini tengah berada di garis depan revolusi digital, mengikuti jejak tren global yang menunjukkan pertumbuhan signifikan pengguna internet. Dalam kurun waktu 2018 hingga 2022, dunia mencatatkan pertambahan lebih dari 1,5 miliar pengguna internet. Indonesia sendiri, pada awal 2024, memiliki sekitar 221,5 juta pengguna internet, sebuah angka yang mencerminkan pertumbuhan yang pesat dalam adopsi teknologi digital oleh masyarakat.
Indeks Literasi Digital Indonesia yang berada di angka 3,49 dari skala 5, menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat dalam memahami, menggunakan, dan menyaring informasi digital telah berada di tingkat “sedang hingga baik”. Angka ini sekaligus menjadi sinyal positif bahwa digitalisasi telah menyentuh berbagai lapisan masyarakat di Tanah Air.
Transformasi digital ini tidak lepas dari berbagai inisiatif pemerintah dan pelaku industri. Beberapa inisiatif yang menjadi tonggak penting termasuk penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan sistem pembayaran Bank Indonesia Fast Payment (BI-FAST). Kedua sistem ini telah mempermudah proses transaksi digital lintas platform dan mendorong inklusi keuangan.
Platform teknologi finansial (fintech) seperti GoPay, OVO, Dana, Xendit, dan Akulaku juga turut memainkan peran kunci dalam mendorong adopsi pembayaran digital. Layanan mereka tidak hanya mempermudah transaksi sehari-hari, tetapi juga memperluas akses ke layanan keuangan formal bagi masyarakat yang sebelumnya belum terjangkau oleh sistem perbankan konvensional.
Namun, seiring dengan peningkatan konektivitas dan penggunaan teknologi digital, muncul pula tantangan besar dalam hal keamanan siber. Data terbaru menunjukkan bahwa serangan ransomware mengalami peningkatan hingga 50 persen, sementara insiden phishing naik sekitar 70 persen pada tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini menegaskan bahwa keamanan digital menjadi isu krusial yang tidak bisa diabaikan.
Untuk merespons situasi ini, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) bekerja sama dengan Victoria Government, Australia, menyelenggarakan simposium bertajuk “Building a Resilient Digital Indonesia: Integrating AI, Cybersecurity, and Privacy”. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu dan dihadiri oleh sejumlah pakar teknologi, regulator, dan pelaku industri.
Dalam simposium tersebut, Ketua Umum MASTEL, Sarwoto Atmosutarno, menyampaikan bahwa keamanan dan privasi merupakan fondasi utama dalam membangun ekosistem digital yang sehat. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan negara dalam menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.
“Kita tidak bisa membangun transformasi digital hanya dari sisi infrastruktur dan aplikasi saja. Aspek keamanan dan privasi data adalah tulang punggung dari kepercayaan publik terhadap sistem digital,” ujar Sarwoto dalam sambutannya.
Perwakilan dari Pemerintah Victoria, Australia, juga menegaskan komitmen negaranya untuk mendukung Indonesia dalam mengembangkan ekosistem digital yang aman dan inklusif. Australia disebut siap berbagi pengalaman, teknologi, serta program pelatihan dalam bidang keamanan siber dan kecerdasan buatan (AI).
Pakar keamanan siber, Dr. Maria Fitri, yang turut hadir sebagai pembicara dalam simposium tersebut, menyampaikan bahwa penggunaan teknologi AI dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, AI bisa digunakan untuk mendeteksi dan mencegah serangan siber secara lebih cepat dan akurat. Namun, di sisi lain, teknologi yang sama juga bisa digunakan oleh penjahat siber untuk menciptakan serangan yang lebih canggih dan sulit dideteksi.
“Kita harus membangun kapasitas nasional dalam hal AI dan keamanan siber secara bersamaan. Tidak cukup hanya bergantung pada teknologi luar negeri, tapi juga perlu investasi dalam riset lokal,” ungkap Maria.
Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami lebih dari 1,6 juta insiden siber sepanjang tahun 2024. Sebagian besar berasal dari sektor keuangan digital dan layanan publik berbasis internet. Serangan ini tidak hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem digital yang ada.
Simposium ini juga menyoroti pentingnya peningkatan literasi digital sebagai langkah preventif. Kepala Pusat Literasi Digital Kemenkominfo, Teguh Prasetyo, menjelaskan bahwa literasi digital yang kuat akan membuat masyarakat lebih sadar risiko dan lebih cerdas dalam menggunakan teknologi.
“Transformasi digital tanpa peningkatan literasi digital ibarat membangun gedung tanpa fondasi yang kuat. Masyarakat harus dibekali pengetahuan agar tidak menjadi korban kejahatan siber,” tegas Teguh.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menggulirkan sejumlah program peningkatan kapasitas digital masyarakat, salah satunya adalah Program Literasi Digital Nasional yang telah menjangkau jutaan warga di seluruh provinsi. Selain itu, peningkatan kapasitas talenta digital juga menjadi fokus utama dalam upaya memperkuat sektor ini dari sisi sumber daya manusia.
Di sektor privat, perusahaan teknologi juga dituntut untuk meningkatkan protokol keamanan serta transparansi dalam pengelolaan data pribadi pengguna. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mulai diberlakukan secara penuh pada 2024 juga menjadi pijakan hukum penting yang memperkuat upaya ini.
Seiring waktu, keberhasilan transformasi digital Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menjaga keseimbangan antara inovasi dan keamanan. Kolaborasi lintas sektor, dukungan kebijakan yang progresif, dan peningkatan kapasitas digital masyarakat akan menjadi kunci utama untuk memastikan Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pelaku utama dalam ekonomi digital global.
Dengan langkah-langkah strategis dan antisipatif yang tepat, Indonesia diyakini bisa menjadi kekuatan digital yang tangguh dan mandiri dalam menghadapi tantangan masa depan.