JAKARTA - Seiring laju zaman yang makin digital, cara mendidik anak pun ikut berubah. Dahulu, belajar di sekolah identik dengan menghafal dan menyalin papan tulis. Kini, suasana itu perlahan tergeser oleh praktik-praktik interaktif dan teknologi. Salah satu contoh menarik datang dari seorang anak SD bernama Rara. Di kelasnya, ia diminta membuat seekor kucing digital yang bisa melompat ketika diklik. Rara tertawa senang, meski tak sadar bahwa ia sedang mempelajari logika, algoritma, hingga berpikir komputasional melalui Scratch, platform pemrograman visual bagi pemula.
Inilah wajah baru pembelajaran di sekolah dasar. Kini, koding dan kecerdasan artifisial (AI) resmi menjadi bagian dari kurikulum pendidikan Indonesia. Langkah ini menunjukkan tekad pemerintah melalui Kemendikbudristek untuk membawa anak-anak Indonesia dari sekadar penonton menjadi aktor aktif dalam dunia digital global.
Alih-alih dianggap sebagai kebijakan tergesa, penerapan koding dan AI justru dipandang sebagai langkah strategis untuk menjawab tantangan zaman. Pendidikan bukan lagi hanya tentang menguasai angka dan huruf, tetapi juga tentang memahami sistem digital yang kini mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan.
Mengapa Koding dan AI Penting?
Dunia saat ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Aplikasi untuk memesan makanan, mencari arah, mengatur jadwal ibadah, hingga hiburan digital—semuanya didukung oleh baris-baris kode dan kecanggihan AI. Oleh karena itu, memahami teknologi tidak hanya berguna untuk menjadi seorang programmer, tetapi juga untuk mengenali cara kerja dunia saat ini.
Jeannette Wing, seorang ilmuwan komputer, menyatakan bahwa computational thinking atau berpikir komputasional merupakan keterampilan dasar abad ke-21, setara pentingnya dengan membaca dan berhitung. Anak-anak perlu tahu bagaimana menganalisis masalah, menyusun langkah-langkah solusinya, dan berpikir sistematis. Semua itu bisa dipupuk sejak dini melalui pembelajaran koding.
AI, yang dahulu hanya hidup di dunia fiksi ilmiah, kini ada di berbagai aspek keseharian: dari kamera ponsel pintar hingga sistem rekomendasi film. Maka wajar jika pemahaman terhadap AI perlu dimulai lebih awal. Tujuannya jelas: anak-anak bukan sekadar menjadi pengguna pasif, tapi berpotensi menjadi inovator, pengembang, hingga pengkritik teknologi.
Respon yang Bijak: Antusias, Bukan Panik
Adanya koding dan AI dalam kurikulum tentu menimbulkan berbagai reaksi. Ada yang menyambut dengan gembira, namun tidak sedikit yang merasa cemas—terutama orang tua dan guru yang merasa belum siap. Kekhawatiran semacam itu wajar. Namun kuncinya adalah pendampingan, bukan penolakan.
Pembelajaran koding dan AI sejatinya tidak melenakan. Sebaliknya, ia dapat menjadi media untuk mengembangkan kreativitas, daya logika, dan bahkan empati. Dengan penugasan yang tepat, siswa bisa membuat aplikasi pengingat belajar, permainan edukatif sejarah Indonesia, atau chatbot sederhana tentang kesehatan mental. Teknologi menjadi alat untuk mendorong inovasi sosial.
Agar manfaatnya maksimal, tentu perlu beberapa hal penting yang disiapkan.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Pertama, kesiapan guru. Banyak guru masih belum terbiasa dengan pengajaran berbasis teknologi. Maka pelatihan wajib dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Organisasi seperti Code.org, Indonesia AI Society, serta program pelatihan digital seperti Digital Talent Scholarship dari Kominfo bisa diintegrasikan untuk mendukung kemampuan para pendidik.
Kedua, fasilitas yang memadai. Masalah infrastruktur menjadi tantangan tersendiri, terutama di wilayah pelosok. Tak semua sekolah memiliki komputer, akses internet, atau bahkan listrik yang stabil. Di sinilah sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta menjadi sangat penting untuk menjamin pemerataan akses pendidikan teknologi.
Ketiga, pendekatan mengajar yang tepat. Koding dan AI bukan pelajaran hafalan. Anak-anak perlu diajak praktik langsung lewat proyek, permainan, dan tantangan kreatif. Metode seperti project-based learning dan gamifikasi terbukti efektif untuk mendorong eksplorasi dan ketertarikan siswa.
Terintegrasi dengan Pelajaran Lain
Uniknya, pembelajaran koding dan AI bisa diintegrasikan ke berbagai mata pelajaran. Dalam Bahasa Indonesia, siswa bisa membuat cerita interaktif. Dalam pelajaran IPS, mereka dapat memetakan lokasi bersejarah secara digital. Bahkan dalam PPKn, mereka bisa berdiskusi tentang etika penggunaan AI dan perlindungan data pribadi.
Artinya, pelajaran ini bukan sekadar soal teknis, tetapi juga menyentuh aspek sosial, budaya, dan nilai. Anak tidak hanya diajarkan cara membuat teknologi, tapi juga alasan dan tujuan penggunaannya. Di sinilah pentingnya menanamkan nilai-nilai tanggung jawab, empati, dan kebangsaan dalam setiap proses belajar.
Menuju Generasi Cakap Digital
Langkah memasukkan koding dan AI dalam kurikulum adalah investasi masa depan. Bukan hanya untuk menciptakan tenaga kerja digital, tetapi untuk menyiapkan anak-anak menjadi pribadi cakap digital. Melek digital berarti bisa menggunakan teknologi. Tapi cakap digital berarti mampu memahami, mengelola, bahkan menciptakan teknologi secara bijak dan produktif.
Anak yang cakap digital tidak mudah terjebak hoaks, tidak asal berbagi konten, dan mampu menggunakan teknologi untuk menyelesaikan masalah nyata.
Dunia 20 tahun ke depan masih misterius. Tapi satu hal pasti: peran teknologi akan sangat dominan. Dengan memperkenalkan koding dan AI sejak dini, kita tidak sedang mencetak teknolog semata. Kita sedang memberi anak-anak kita alat untuk menghadapi masa depan, dengan pilihan lebih luas dan kemampuan lebih dalam.
Jadi, jika suatu hari anak Anda dengan bangga berkata, "Bu, aku bikin program kucing menari!", jangan anggap remeh. Barangkali itu adalah bahasa masa depan yang sedang mereka pelajari dan mungkin, sedang mereka gunakan untuk menulis takdir hebat mereka sendiri.