JAKARTA - Di banyak negara, tato alis hanya dianggap sebagai tren kecantikan yang bersifat pribadi dan estetis. Namun, di Korea Utara, sebuah tato kecil di wajah bisa berujung pada masalah serius, bahkan dianggap sebagai tindakan pembangkangan terhadap negara.
Negara yang dikenal dengan tirai besi dan kontrol ketat atas kehidupan warganya ini tidak hanya mengawasi hal-hal besar seperti politik dan ekonomi, tapi juga mengatur detail penampilan fisik setiap individu. Sebuah laporan terbaru dari 38 North, situs analisis kebijakan Korea Utara berbasis di Amerika Serikat, mengungkap bagaimana Pyongyang menerapkan regulasi ketat terkait operasi plastik dan prosedur estetika lainnya.
Di Korea Utara, operasi plastik memang dilegalkan, namun dengan pembatasan yang jelas dan unik, mencerminkan filosofi negara yang menjunjung tinggi gaya hidup sosialis. Undang-Undang Perawatan Bedah Plastik yang mulai diterapkan sejak 2016 dan terakhir diperbarui pada Februari 2024, menjadi dokumen penting yang menunjukkan bagaimana negara mengontrol tubuh warganya.
Salinan undang-undang tersebut diperoleh dari perangkat lunak ponsel pintar buatan lokal Korea Utara yang didapat oleh 38 North pada akhir tahun lalu, memberikan gambaran langsung mengenai kehidupan sehari-hari rakyat di negeri tertutup ini.
Pasal 11 undang-undang tersebut mengizinkan operasi plastik bukan hanya untuk alasan medis seperti memperbaiki luka bakar atau mengangkat tumor, tetapi juga untuk “peningkatan estetika” meski tidak ada trauma jaringan lunak. Menariknya, prosedur kecantikan ini dipandang sebagai bagian dari “sistem sosialis yang berpusat pada massa” dengan tujuan membantu rakyat menikmati “kehidupan yang bahagia dan beradab dengan penampilan yang sehat dan cantik.”
Namun, batasan yang ketat juga diatur dengan jelas. Prosedur yang dianggap berlebihan atau menyimpang, seperti mengubah wajah agar menyerupai orang lain, memodifikasi sidik jari, hingga operasi pergantian kelamin (kecuali kasus khusus), dilarang keras. Bahkan, tato alis yang di banyak tempat menjadi metode populer untuk mempercantik diri secara permanen, dalam konteks hukum Korea Utara justru dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan “gaya hidup sosialis.”
Meskipun alasan pelarangan tato alis tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang, keputusan tersebut memperlihatkan bagaimana negara menggunakan estetika sebagai alat pengendalian budaya dan identitas nasional. Setiap elemen penampilan fisik harus mencerminkan nilai-nilai yang sesuai dengan ideologi Juche, yang menekankan kemandirian dan kesetiaan pada negara.
Selain itu, undang-undang juga mengatur bahwa prosedur bedah plastik hanya boleh dilakukan di rumah sakit pusat atau klinik-klinik spesialis. Klinik umum tidak diberi izin melakukan operasi plastik, yang berarti akses ke “kecantikan yang sesuai dengan negara” sangat dikendalikan dan terpusat oleh pemerintah.
Dengan pengawasan ketat ini, Korea Utara menampilkan dua wajah sekaligus dalam hal citra tubuh: satu sisi mengakui pentingnya estetika dalam kehidupan modern, sementara sisi lain membatasi ekspresi individual demi menjaga batas ideologis. Di negara ini, wajah bukan hanya soal penampilan, tapi juga merupakan pernyataan politik. Maka dari itu, sepasang alis yang diwarnai tinta permanen bukan sekadar soal mode, tapi bisa menjadi simbol pemberontakan terhadap rezim yang otoriter.