JAKARTA - Pengenaan pajak pada fasilitas olahraga kembali menjadi perbincangan setelah Pemerintah Provinsi Jakarta menerapkan kebijakan baru terkait lapangan olahraga. Melalui skema Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), lapangan olahraga kini dikenakan pajak sebesar 10 persen. Kebijakan ini tidak hanya mengejutkan sebagian pengelola fasilitas, tetapi juga memicu respons dari berbagai kalangan masyarakat yang memanfaatkan fasilitas tersebut untuk kegiatan olahraga harian maupun komersial.
Ketentuan ini tidak datang tiba-tiba. Dasar dari pemberlakuan pajak tersebut termuat dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025, yang merupakan perubahan kedua dari keputusan sebelumnya. Keputusan ini menjadi acuan resmi dalam pelaksanaan pemungutan pajak atas penyediaan jasa penggunaan lapangan olahraga, baik yang dikelola swasta maupun lembaga tertentu yang bersifat komersial.
Kepala Satuan Pelaksana Penyuluhan dari Pusat Data dan Informasi Pendapatan (Pusdatin) Bapenda DKI Jakarta, Andri M. Rijal, menjelaskan bahwa kebijakan ini telah melalui kajian dan pengaturan yang mendalam. “Hal ini memang sudah menjadi bagian dari kebijakan perpajakan daerah melalui skema PBJT,” ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa pemerintah daerah menetapkan tarif 10 persen atas jasa penyewaan lapangan olahraga, termasuk yang digunakan untuk kegiatan sepak bola, futsal, basket, dan olahraga lainnya. Menurutnya, langkah ini bertujuan untuk meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah dari sektor jasa, khususnya yang selama ini belum tergarap secara maksimal.
Walau kebijakan ini mendapat dukungan dari sisi administrasi daerah, tidak sedikit masyarakat dan pelaku usaha lapangan olahraga yang mempertanyakan penerapan pajak ini. Sebagian pengelola menilai bahwa tambahan pajak 10 persen bisa berdampak pada tarif sewa yang lebih tinggi bagi pengguna, terutama masyarakat umum yang rutin menggunakan fasilitas ini untuk kegiatan olahraga harian.
Di sisi lain, Andri M. Rijal menegaskan bahwa penerapan pajak tidak dimaksudkan untuk membebani masyarakat. Ia menyebut bahwa pajak yang dikenakan bersifat wajar dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. “Pajak PBJT sebesar 10 persen ini tidak dikenakan kepada pengguna akhir secara langsung, melainkan melalui mekanisme penyedia jasa,” terangnya. Artinya, lapangan-lapangan yang disewakan secara komersial wajib memungut pajak tersebut sebagai bagian dari tarif layanan.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa keputusan ini telah melewati proses harmonisasi antarinstansi dan mempertimbangkan aspek keadilan serta kemampuan bayar masyarakat. Pemerintah daerah juga membuka ruang dialog bagi para pengelola fasilitas olahraga untuk menyampaikan masukan terkait pelaksanaan kebijakan ini di lapangan.
Di beberapa wilayah Jakarta, fasilitas olahraga seperti lapangan futsal dan basket kerap menjadi sarana utama kegiatan komunitas dan pemuda. Aktivitas rutin seperti turnamen lokal, latihan bersama, atau sekadar olahraga ringan menjadi bagian dari gaya hidup perkotaan. Dengan adanya pajak ini, banyak yang berharap agar implementasinya tetap memperhatikan daya beli masyarakat dan tidak membuat akses terhadap sarana olahraga menjadi lebih terbatas.
Meski begitu, di sisi pemerintah, kebijakan ini juga dilihat sebagai bentuk penataan dan pengawasan terhadap aktivitas komersial yang selama ini mungkin belum terdata secara optimal. Dengan masuknya jasa penyewaan lapangan ke dalam kategori objek pajak PBJT, pemerintah daerah memiliki kendali dan data yang lebih baik terhadap potensi ekonomi yang bergerak di sektor olahraga ini.
Menurut Andri M. Rijal, kebijakan ini juga sejalan dengan upaya transparansi dan digitalisasi pendapatan daerah. Ia mengatakan bahwa setiap transaksi penyewaan fasilitas olahraga dapat terekam melalui sistem pelaporan digital, sehingga meminimalkan potensi kebocoran dan memastikan seluruh pemasukan dapat dikontribusikan kepada kas daerah secara akuntabel.
Terkait dampak ekonomi dari kebijakan ini, sejumlah pengamat menyarankan perlunya pendekatan sosial bagi kelompok pengguna tertentu. Misalnya, pemberian insentif atau pengecualian sementara bagi komunitas olahraga nonkomersial, kegiatan sosial, atau pelatihan pemuda yang tidak berorientasi pada keuntungan. Hal ini dimaksudkan agar tujuan pembangunan karakter dan kesehatan masyarakat melalui olahraga tetap bisa berjalan tanpa hambatan biaya tambahan.
Penerapan PBJT sebesar 10 persen ini juga diproyeksikan akan mendorong pelaku usaha pengelola fasilitas untuk lebih profesional dalam menjalankan bisnisnya. Dengan masuknya skema pajak, pengelola dituntut untuk tertib administrasi, mematuhi regulasi perpajakan, serta melakukan pelaporan yang transparan.
Di tengah pro dan kontra yang muncul, pemerintah daerah menegaskan bahwa kebijakan ini bersifat konstruktif dan mendukung pembangunan ekonomi daerah melalui optimalisasi sektor jasa. Dengan pendapatan daerah yang meningkat, pemerintah diharapkan dapat mengalokasikan anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur olahraga, serta mendukung program-program kepemudaan dan olahraga di masyarakat.
Dengan berjalannya waktu, efektivitas kebijakan ini akan sangat bergantung pada pengawasan di lapangan serta keterbukaan pemerintah dalam menerima masukan masyarakat. Diharapkan, langkah ini tidak hanya menjadi cara baru meningkatkan penerimaan daerah, tetapi juga menjadi pemicu penguatan tata kelola sektor jasa olahraga yang berkelanjutan.