JAKARTA - Dentuman musik yang menggema hingga menembus dinding rumah bukan lagi fenomena langka di kampung-kampung. Bukan konser resmi atau panggung hiburan besar, melainkan hajatan lokal acara khitanan, ulang tahun, atau arisan yang disemarakkan dengan suara keras dari deretan speaker besar. Di situlah “sound horeg” muncul sebagai simbol hiburan rakyat. Tapi di balik gegap gempita, muncul pertanyaan krusial: apakah sound horeg merupakan ekspresi budaya yang harus dirayakan, atau justru menjadi gangguan sosial dan kesehatan bagi warga?
Fenomena sound horeg mulai menggeliat lewat tangan kreatif generasi muda desa. Mereka merakit sound system berdaya tinggi demi menghidupkan suasana acara. Speaker raksasa dan lampu sorot mendominasi sudut kampung, menciptakan atmosfer meriah seperti layaknya sebuah konser mini. Dari sinilah sound horeg muncul sebagai hiburan rakyat yang mudah diakses, dipadukan nuansa musik dangdut koplo, remix, dan DJ lokal nan atraktif. Di sisi ekonomi, sound horeg menyumbang lapangan kerja informal: dari penyewaan alat, operator sound, teknisi listrik keliling, hingga jasa dokumentasi acara.
Data dari Dinas Koperasi dan UKM Jawa Tengah menunjukkan industri sound system rumahan di Pantura Timur menghasilkan omset Rp37 miliar per tahun. Angka ini mencerminkan nilai ekonomi yang signifikan dari aktivitas tersebut lebih dari sekadar hobi, sound horeg menjadi peluang usaha rakyat.
Namun, kemeriahan sound horeg tidak bebas dari kritik. Speaker yang memekakkan telinga menimbulkan kebisingan melebihi ambang wajar. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996, ambang kebisingan di permukiman adalah 55 dB siang hari dan 50 dB malam hari. Sebaliknya, hasil pemantauan di Rembang mencatat level suara sound horeg mencapai 95 hingga 120 dB setara kebisingan pesawat lepas landas.
Paparan suara sedemikian keras bisa menimbulkan efek buruk bagi kesehatan. WHO menyampaikan bahwa suara di atas 85 dB berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran permanen bila diterima terus-menerus, serta meningkatkan risiko stres kronis dan hipertensi. Kebisingan ini tak hanya mengganggu tidur terutama saat acaranya hingga larut malam namun juga dapat memicu masalah jantung dan pola stres yang tidak sehat bagi warga.
Dampak sosialnya pun mengkhawatirkan. Ketegangan antar-warga yang dipicu sound horeg bukan isapan jempol. Lembaga Advokasi Sosial Rakyat (LASR) Jawa Timur mencatat setidaknya 37 konflik antarwarga selama periode 2022–2023 yang disebabkan oleh keluhan kebisingan. Dari debat hangat hingga bentrokan fisik, konflik semacam itu menunjukkan sisi gelap dari hiburan ini: ia bisa memecah keharmonisan komunitas, bukan menyatukannya.
Regulasi yang ada pun masih minim dan belum merata. Beberapa daerah, seperti Kabupaten Kudus, telah mencanangkan perda untuk mengatur sound system: Perda Kabupaten Kudus No. 3 Tahun 2022 melarang aktivitas dengan sound system keras setelah pukul 22.00 WIB. Namun, implementasi sering lemah. Tanpa monitoring dan penegakan hukum yang konsisten, banyak acara tetap membunyikan sound hingga dini hari tanpa sanksi berarti.
Mencegah kebisingan semata dengan pelarangan tidak cukup. Sebuah solusi menyeluruh perlu melibatkan regulasi ketat dan pendekatan edukatif. Dibutuhkan standar khusus: batas maksimal suara, durasi acara, jam operasional, dan izin lingkungan yang wajib dipenuhi penyelenggara. Baik di tingkat desa, kabupaten, maupun provinsi, aturan ini harus jelas dan bersifat mengikat.
Komunitas sound juga harus dilibatkan. Contoh terbaik datang dari Pecinta Sound System Indonesia (PSSI) di Pati dan Jepara. Mereka membuat “Kode Etik Horegers”, kesepakatan komunitas yang mencakup pembatasan durasi acara hingga jam 22.00, penggunaan pengarah suara bust, dan prosedur uji coba suara sebelum acara. Inisiatif semacam ini layak diadopsi secara lebih luas sebagai upaya preventif dan edukatif.
Selain itu, pemerintah bisa memfasilitasi ruang hiburan bersama yang terkontrol. Alih-alih menempatkan sound di pemukiman padat, penggunaan taman desa atau lapangan terbuka yang dilengkapi sound system profesional dapat dijadikan alternatif. Infrastruktur sederhana seperti semacam amphitheatre kecil dapat dikembangkan, dengan manajemen suara yang layak dan jadwal acara yang tidak mengganggu warga sekitar.
Uniknya, sound horeg juga menggambarkan fenomena sosial yang lebih dalam: ekspresi frustrasi bagi mereka yang merasa gagal bersaing dalam konteks kerja dan pendidikan. Bila tidak mencapai prestasi dalam ruang formal, mereka memilih sound sebagai jalan untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan. Dalam hal ini, sound horeg menjadi gejala sosial bukan sekadar budaya hiburan. Fenomena ini mirip dengan Citayam Fashion Week di sudut Jakarta: bukan melawan budaya, melainkan menciptakan narasi ekspresi diri terhadap kebutuhan eksistensi.
Karenanya, penting bagi kita menyadari bahwa sound system yang memekakkan bukan bentuk budaya positif jika mengorbankan kesehatan dan ketentraman publik. Batas antara hiburan dan gangguan harus jelas. Pemerintah daerah, aparat desa, serta warga perlu duduk bersama untuk merumuskan solusi berbasis data: penggunaan meter suara, penetapan lokasi kegiatan, dan sistem pengaduan warga yang mudah dijangkau.
Komunitas sound system juga perlu dituntun menuju norma profesional. Standar klub musik, even komunitas hip-hop, maupun pesta kampus barat dapat dijadikan acuan. Teknologi noise-cancelling, sudut penghalang suara, dan batas frekuensi low bass mungkin digunakan. Pemerintah atau LSM bisa memberikan workshop teknis, tidak sekadar bahas regulasi.
Secara holistik, sound horeg bisa dikelola menjadi sumber hiburan rakyat yang sehat, inklusif, sekaligus memberikan peluang ekonomi. Rakyat tetap merayakan budaya komunitasnya tanpa mengorbankan hak warga lainnya. Taman desa yang menyala dengan musik dangdut sore hari bisa menjadi oase kebersamaan, tanpa harus menembus ambang suara berbahaya.
Akhirnya, sound horeg mewakili dilema budaya modern di desa: antara ekspresi dan ekses, antara hiburan dan gangguan. Keputusan masa depan harus menjunjung nilai saling menghormati: mereka yang ingin bernyanyi dengan speaker besar harus peka terhadap hak tetangga untuk tidur tenang, sementara mereka yang terganggu pun perlu memahami bahwa sound juga bagian dari ritme budaya kampung. Tanpa harmonisasi, getaran musik ini akan menjadi gangguan yang melemahkan rasa komunitas, bukan pemersatu desa.