JAKARTA - Di ujung barat Indonesia, tepatnya di Tugu Nol Kilometer Sabang, Aceh, suasana sore itu terasa istimewa. Lebih dari sekadar titik geografis paling barat di Indonesia, tempat ini menjadi pusat pertemuan berbagai cerita dan pengalaman budaya, salah satunya lewat sebuah hidangan sederhana yang menyimpan kisah panjang: rujak buah khas Sabang. Di balik aroma kacang, cabai, dan buah segar yang memikat para pengunjung, tersimpan tradisi dan kehangatan yang tak lekang oleh waktu.
Tugu Nol Kilometer menjadi saksi bagaimana sebuah makanan sederhana bisa menjadi perekat antar manusia dari berbagai latar belakang. Di sela hembusan angin laut dan debur ombak Samudera Hindia yang menenangkan, ratusan wisatawan lokal maupun mancanegara berkumpul, bukan hanya untuk menikmati pemandangan, tapi juga merasakan kelezatan rujak buah yang sudah turun-temurun menjadi ciri khas wilayah itu.
Hasbi, seorang penjual rujak yang sudah lama menggeluti usaha kuliner ini, terlihat sibuk di balik cobek besar. Tangan terampilnya terus mengaduk bumbu kacang, cabai, dan buah rumbia, yang menjadi bahan utama bumbu rujak itu. “Kami siapkan rujak buah yang resepnya tidak pernah kami ubah,” ujarnya dengan senyum ramah, menyambut para pengunjung yang melewati lapaknya.
Rujak buah di Tugu Nol Kilometer memang punya keistimewaan tersendiri. Resep yang digunakan sudah diwariskan secara turun-temurun, menjadi bagian dari warisan budaya yang dijaga ketat oleh para penjual seperti Hasbi dan Eti. Eti, penjual lain yang juga menurunkan resep dari orang tuanya, menceritakan bagaimana tradisi ini terus dilestarikan. “Saya penerusnya,” katanya sederhana.
Kombinasi buah-buahan yang digunakan bukan sembarangan. Ada mangga muda yang asam segar, jambu renyah, timun segar, pepaya, nanas, dan bengkoang manis yang semuanya dicampur dengan siraman gula aren cair. Namun yang paling unik adalah tambahan buah rumbia yang memberikan sensasi sepat di lidah, sebuah rasa yang tidak bisa ditemukan di rujak lain di wilayah lain Indonesia.
Eti menjelaskan bahwa proses pembuatan bumbu rujak selalu sama sejak dulu. Kacang dan cabai diulek bersama rumbia hingga halus, kemudian buah segar dimasukkan ke dalam cobek dan dicampur rata. Rujak disajikan lengkap dengan sendok dan lidi sebagai alat makan tradisional. Harganya pun sangat terjangkau, hanya sekitar Rp 10 ribu per porsi sudah termasuk segelas air putih.
Pengunjung yang ingin menambah kesegaran biasanya memesan air kelapa muda khas Sabang, minuman legendaris yang menjadi pelengkap sempurna menikmati rujak. Air kelapa muda yang manis dan segar ini menjadi teman ideal saat cuaca sore di Sabang yang kadang hangat.
Bagi banyak orang, seperti Tasya, wisatawan asal Medan, rujak Sabang bukan sekadar makanan ringan. “Enak sekali. Rasanya pas di lidah siapa saja,” ujarnya sambil menyeruput air kelapa muda. Bagi Tasya dan banyak pengunjung lain, pengalaman mencicipi rujak ini menjadi salah satu alasan utama untuk kembali mengunjungi Aceh.
Suasana di Tugu Nol Kilometer yang ramai semakin menghidupkan pengalaman tersebut. Saat senja mulai turun, langit di atas Samudera Hindia memancarkan warna oranye keemasan yang menambah keindahan panorama. Para pengunjung duduk bersila di sekitar lapak, menikmati suapan demi suapan rujak sambil menatap laut yang luas dan biru. Momen seperti ini membuat makanan sederhana seperti rujak buah memiliki nilai lebih sebagai pengikat suasana dan cerita bersama.
Muna, salah satu pengunjung yang mencicipi rujak legendaris tersebut, merasa terkesan tidak hanya oleh rasa rujak tapi juga oleh keramahan masyarakat Aceh. “Saya takjub, warga Aceh sangat menghargai kami, meski kami berbeda agama,” katanya. Sikap ramah dan toleransi ini semakin memperkaya pengalaman berkunjung dan mencicipi kuliner lokal.
Tugu Nol Kilometer memang bukan hanya sekadar tanda batas geografis. Tempat ini menjadi titik temu beragam budaya dan pengalaman, di mana sebuah kuliner sederhana mampu menjadi media komunikasi, perekat rasa kemanusiaan, dan jembatan sejarah. Tradisi rujak buah di Sabang menjadi simbol bagaimana sesuatu yang sederhana dapat menghadirkan kehangatan dan kebersamaan.
Rujak buah dengan bumbu kacang, cabai, dan rumbia yang diulek manual tetap menjadi favorit pengunjung. Lapak-lapak kecil milik Hasbi, Eti, dan penjual lain terus mempertahankan resep turun-temurun tersebut dengan penuh kebanggaan dan kesungguhan. Mereka menjaga agar cita rasa autentik tetap terjaga, tidak hanya sebagai hidangan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang berharga.
Melalui rujak buah di Sabang, banyak cerita dapat tersampaikan: kisah keluarga yang melestarikan resep, semangat menjaga tradisi, dan kebersamaan yang lahir dari berbagi makanan. Rujak ini bukan hanya soal rasa asam, manis, dan pedas, melainkan juga tentang nilai-nilai sosial yang melekat kuat di masyarakat.
Kisah ini membuktikan bahwa kuliner adalah bagian penting dari identitas budaya yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah dan interaksi sosial. Tugu Nol Kilometer bukan hanya menjadi destinasi wisata, tapi juga ruang hidup tradisi dan harmonisasi antar manusia yang beragam.
Keunikan rujak Sabang juga mengajarkan kita tentang pentingnya pelestarian budaya dan kebanggaan lokal yang harus terus dijaga. Dalam era modernisasi dan globalisasi yang cepat, keberadaan kuliner tradisional seperti rujak ini menjadi semacam pengingat akan akar budaya dan kearifan lokal.
Bagi pengunjung, mencicipi rujak ini adalah pengalaman rasa yang kaya sekaligus kesempatan untuk mengenal lebih dekat budaya Aceh dan Sabang. Mereka tidak hanya membawa pulang kenangan akan cita rasa unik, tapi juga pelajaran tentang toleransi, keramahan, dan nilai-nilai kebersamaan.
Secara keseluruhan, rujak buah di Tugu Nol Kilometer Sabang adalah sebuah kisah kecil yang menyimpan makna besar. Melalui resep sederhana dan tradisi yang turun-temurun, masyarakat setempat mampu menghadirkan sebuah pengalaman kuliner yang mengikat rasa, budaya, dan kemanusiaan. Ini adalah bukti nyata bahwa kekayaan kuliner Indonesia bukan hanya soal ragam rasa, tetapi juga soal cerita dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Dengan aroma kacang, cabai, dan manisnya gula aren berpadu sempurna dalam kesederhanaan, rujak Sabang di ujung barat Indonesia tetap hidup dan berkembang, menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Selama ada tangan-tangan seperti Hasbi dan Eti yang menjaga tradisi ini, rasa rindu dan kehangatan akan terus dirawat dalam setiap suapan.
Jika suatu hari kamu mengunjungi Sabang, jangan lewatkan kesempatan mencicipi rujak buah legendaris ini. Bukan hanya soal makan, tapi menikmati sepotong sejarah dan budaya yang tersaji dalam setiap gigitan.