PENDIDIKAN

Pendidikan Berkualitas Masih Jadi Kemewahan Bagi Banyak Anak

Pendidikan Berkualitas Masih Jadi Kemewahan Bagi Banyak Anak
Pendidikan Berkualitas Masih Jadi Kemewahan Bagi Banyak Anak

JAKARTA - Banyak pihak masih menaruh harapan pada pendidikan sebagai jalan utama untuk mengangkat kualitas hidup dan derajat bangsa. Namun, dalam praktiknya, pendidikan tak selalu berjalan seperti janji dan angan. Di negeri ini, mendapatkan pendidikan yang benar-benar berkualitas ternyata masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar anak-anak, terutama yang datang dari keluarga dengan modal sosial dan ekonomi terbatas.

Pendidikan memang tidak hanya terjadi di sekolah. Di ruang keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan dunia digital, pendidikan dapat hadir dan memengaruhi karakter anak-anak. Namun, setelah masa industrialisasi berkembang, sistem persekolahan mengambil alih sebagian besar fungsi pendidikan. Akibatnya, banyak orang meyakini bahwa menjadi terdidik hanya bisa dicapai melalui jalur sekolah formal. Mereka yang tidak sekolah sering kali dianggap tak terdidik.

Padahal, realita menunjukkan bahwa tidak semua lulusan sekolah benar-benar beradab atau memiliki laku hidup yang baik. Bahkan, banyak yang mempertanyakan kualitas moral para pelaku korupsi yang notabene adalah orang-orang “berpendidikan”. Ini menunjukkan bahwa ijazah bukan jaminan atas kecerdasan akal budi.

Di sekolah, pendidikan berjalan melalui kurikulum yang ketat dan bertahap. Anak-anak dibatasi oleh umur dan jenjang. Untuk bisa mencapai gelar sarjana, seseorang harus melalui proses panjang dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Semua itu butuh waktu, biaya, dan kesabaran. Ketika lulus, seseorang memperoleh secarik kertas bernama ijazah tanda bahwa ia punya “kualifikasi” dan bisa melamar pekerjaan.

Namun, apakah realitanya semudah itu? Tentu tidak.

Ijazah Tak Lagi Jaminan, Pengangguran Justru Merata

Saat ini, banyak lulusan sekolah dan kampus yang tak juga mendapat pekerjaan. Jika lulusan SD menganggur, mungkin dapat dimaklumi. Bila lulusan SMP belum bekerja, bisa diterima karena usianya masih muda. Namun, ketika lulusan SMA, SMK, hingga sarjana kesulitan mendapat pekerjaan, bahkan bekerja tapi dibayar di bawah upah minimum, banyak yang mulai mempertanyakan: “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi?”

Orangtua bekerja keras membiayai sekolah anak. Ada yang menjual aset, mengambil pinjaman bank, hingga terjerat pinjaman online demi pendidikan. Mereka percaya bahwa ini adalah investasi. Namun, saat hasilnya tak sepadan, muncullah kegelisahan: Apakah pendidikan benar-benar menjamin masa depan?

Pendidikan yang seharusnya menjadi harapan dan penyelamat, justru berubah menjadi beban dan bahkan perangkap. Ketika ijazah tak menjamin pekerjaan layak, masyarakat pun mulai kehilangan kepercayaan. Ada yang bertanya-tanya: mengapa sistem pendidikan gagal menjadikan seseorang otomatis layak kerja dan mandiri secara ekonomi?

Ketimpangan, Kapital, dan Perlombaan Tak Sehat

Tak dapat disangkal bahwa kesenjangan pendidikan sangat mencolok. Meski kurikulum nasional sama, hasil didikan dari sekolah yang satu dan yang lain bisa sangat berbeda. Sekolah-sekolah favorit atau universitas ternama sering kali melahirkan lulusan yang lebih kompetitif, sedangkan yang lain tertinggal jauh.

Orangtua pun berlomba-lomba memasukkan anak ke sekolah favorit sejak dini. Mereka menyekolahkan anak di tempat bimbingan belajar agar lolos masuk SMP, SMA, hingga perguruan tinggi unggulan. Bahkan demi menjadi aparatur sipil negara, polisi, atau tentara, banyak yang rela mengeluarkan modal besar.

Pendidikan pun jadi mahal, bahkan terlalu mahal. Tak hanya biaya resmi yang meningkat, praktik manipulasi juga marak. Dari mencari “jalan belakang” masuk sekolah favorit, hingga menyewa joki ujian. Celah-celah hukum dimanfaatkan, dan praktik ini bukan lagi rahasia. Semua atas nama masa depan anak.

Keteladanan yang Hilang dan Mindset yang Kaku

Pendidikan seharusnya bukan hanya soal nilai dan ijazah. Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus memajukan budi pekerti, akal, dan jasmani anak-anak melalui pengajaran, teladan, dan pembiasaan tanpa hukuman dan paksaan.

Namun, semangat itu kini nyaris lenyap. Ilmu tak lagi ditanamkan dengan keteladanan. Adab ditinggalkan. Selama seseorang punya kapital uang, jaringan, dan informasi ia bisa “menang” dalam kompetisi pendidikan. Tanpa itu, harapan seolah lenyap.

Bahkan upaya pemerintah untuk memperketat aturan pun sering kali mentok karena mentalitas dan pola pikir masyarakat belum berubah. Perubahan sistem tak akan berjalan maksimal tanpa perubahan cara berpikir dan perilaku.

Apakah Harapan Masih Ada?

Pendidikan berkualitas hanya akan terwujud jika kebijakan yang dibuat mampu berjalan secara adil dan murni. Ketika warga dari desa hingga kota, dari miskin hingga kaya, bisa mengakses pendidikan yang setara, harapan itu nyata.

Pendidikan berkualitas hanya mungkin terjadi saat anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa bersekolah tanpa beban berat, bisa membaca buku yang tersedia di perpustakaan sekolah, dan guru-gurunya tidak harus mencari pekerjaan tambahan demi bertahan hidup.

Harapan ada jika pendidikan membentuk manusia utuh: beradab, bernalar, dan punya rasa kemanusiaan tinggi. Harapan tumbuh saat pendidikan dilakukan di semua ruang rumah, sekolah, masyarakat, dan dunia digital secara selaras dan bertanggung jawab.

Pemerintah harus hadir secara nyata, menjadi teladan, bukan sekadar regulator. Jika pemerintah serius dalam memperbaiki pendidikan, jejaknya akan jelas terlihat. Anak-anak bangsa akan merasakan bahwa mereka tak berjalan sendiri.

Selama semua ini belum terjadi, pendidikan yang kita banggakan masih sebatas mimpi dan harapan itu pun terus digantungkan di langit tanpa kepastian kapan akan menyentuh bumi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index